Kucing Iblis

Yovinus
Chapter #10

10-Kecurigaan Marulina Terhadap Edeng

 

"Tidak ada apa-apa, Pak..." desis Edeng sambil duduk menghadap suami istri itu. "Aku sudah berkeliling dan menjelajahi hampir setiap jengkal tanah di sekitar rumah ini. Tapi sepi-sepi saja..."

"Ada tanda-tanda yang mencurigakan?"

"Tidak, Pak. Makhluk itu lenyap tak berbekas..."

"Apakah mungkin ini kiriman seseorang?" tanya Pak Ceknang. Dia percaya akan hal-hal gaib, sebab semasa mudanya banyak bergaul dengan kawan-kawannya dari suku Dayak di pedalaman yang akrab dengan hal-hal seperti itu. Apalagi di kalangan suku Dayak Uut Danum, dia pernah mendengar cerita akan hal seperti ini.

Gernis muncul membawa empat cangkir kopi panas. Uapnya mengepul dan menebarkan harumnya memenuhi ruangan tamu itu. Dia memasak air dan membuat kopi sementara Edeng sedang keluar tadi.

“Kok kopi semua? Mamamu kan lebih suka teh?” kata Pak Ceknang mengingatkan anaknya.

“Tak apa-apa, Pa,” celetuk istrinya. “Akhir-akhir ini aku lebih suka kopi.”

“Hiyalah,” desis Pak Ceknang paham.

Sambil menunggu air kopinya dingin, mereka membicarakan peristiwa yang baru saja dialami Gernis.

"Jadi ada orang yang ingin meneror kita, Pa?" celetuk Nyonya Marulina.

"Bahkan mungkin menginginkan nyawa kita?" timbrung Gernis.

"Tapi apa salah kita?" kata Nyonya Marulina lagi.

"Entahlah. Rasanya aku sudah cukup baik dengan sesama...," desah Pak Ceknang. Orang tua itu menarik napas panjang.

"Diminum kopinya, Nak Edeng..."

"Terima kasih, Pak..."

"Yuk," katanya seraya mengambil gelas kopi di depannya ketika melihat Edeng masih belum menyentuh kopinya.

Mereka terdiam. Pak Ceknang duduk diapit anak dan istrinya.

Marulina memakai gaun malam yang tipis, sehingga jelas sekali terlihat bahwa di balik gaun itu dia tidak menggunakan pelapis lainnya. Duduknya kebetulan menghadap ke arah Edeng dan sering, sepertinya tanpa disengaja, kedua kakinya agak membuka sehingga memberikan pemandangan yang mampu mengundang jiwa muda Edeng.

Namun Edeng berusaha agar tidak menoleh ke arah sana.

"Apa yang dapat saya lakukan, Pak?" tanya Edeng berusaha menenangkan darah mudanya yang sempat bergolak melihat pemandangan seksi dan menggairahkan di depannya.

"Kamu harus membantuku menyelidiki. Rasanya peristiwa ini pasti ada buntutnya...!"

"Jika betul itu kucing suruhan atau kucing jejadian, maka pasti ada orang di balik semuanya ini..."

"Apakah mungkin orang sini, Pak?" celetuk Gernis.

"Entahlah. Tapi tampaknya semua hal ini saling berhubungan...," kata Pak Ceknang tanpa ekspresi.

Pengalamannya yang sudah berbisnis dengan banyak orang yang karakternya berbeda-beda membuatnya mampu mengendalikan diri. Tampak wajahnya tenang. Sikapnya begitu meyakinkan.

"Mungkinkah semua peristiwa ini saling berhubungan, Pak?"

"Saya rasa demikian. Kematian Leni dan Bi Inem. Dan orang yang membuntuti Gernis olahraga pagi."

"Juga kemunculan kucing aneh itu..."

"Rasanya kucing itu jelmaan orang itu..." desis Edeng tanpa sadar.

Namun dia menyadari kalau dia kelepasan bicara.

"Bagaimana kamu tahu...?" tanya Nyonya Marulina sambil menatap Edeng tajam.

Edeng merasa terlanjur basah. Sebenarnya dia ingin merahasiakannya.

"Anu, Tante. Sebenarnya..."

"Sebenarnya bagaimana?" desak Nyonya Marulina.

Edeng jadi gelagapan. "Sebenarnya kalau dihubung-hubungkan, semua peristiwa ini mengarah ke suatu hal," kata Edeng agak ragu-ragu.

"Kalau saya tidak salah lihat, kematian-kematian ini disebabkan oleh semacam ilmu keturunan, yang di kalangan suku Dayak Uut Danum disebut Korovou..."

Tidak ada yang tahu jika pada saat itu mata Nyonya Marulina berkilat sebentar.

"Aha, sekarang saya baru ingat...!" tiba-tiba Pak Ceknang berseru sambil menepuk pahanya sendiri. "Betul apa yang kamu katakan, Nak Edeng. Kematian kedua wanita itu yang hati dan jantungnya hilang. Dan kemunculan kucing besar dengan memakai jam di kakinya..."

"Apa hubungannya, kucing dan jam di kakinya itu, Pa?" ujar Gernis ingin tahu.

"Sebab kucing itu adalah penjelmaan manusia, yang dalam bahasa daerahnya?" Pak Ceknang mengerutkan keningnya, berusaha mengingat.

"Nomalliu...!" ucap Edeng membantu.

"Ya, Nomalliu," ulang Pak Ceknang.

"Nomalliu itu bagaimana sih, Pa?" tanya Gernis semakin penasaran.

Pak Ceknang menatap anaknya. Terkadang dia berpikir anaknya ini agak cerewet. Selalu ingin tahu akan setiap hal. Tapi terkadang juga dia sadar, banyak bertanya adalah salah satu ciri anak pintar.

Lihat selengkapnya