Langit malam itu gelap gulita. Tidak ada sebuah bintang pun menghiasi angkasa. Angin bertiup kencang dan sepertinya membawa hawa iblis. Beberapa kali terdengar bunyi tertawa kuntilanak di kejauhan.
Membuat merinding kedua satpam kantor perkebunan karet yang sedang jaga malam itu.
“Rong.”
“Ya?”
“Bulu kudukku berdiri...”
“Ah, jangan macam-macam...”
“Benar, Rong. Perasaanku tidak enak...”
Soparong menatap kawannya. “Maksudmu?”
“Kau dengar suara tertawa kuntilanak itu?”
“Ya...”
“Itu pertanda akan terjadi sesuatu.”
“Jangan menakut-nakuti. Apalagi hanya kita berdua yang jaga pada shift malam ini.”
“Tan Tai Liong dan Hong Teng Kong, mengapa tidak ikut jaga malam ini?”
“Mereka kan shift siang! Belum tahu, ya?”
“Siapa yang mengubahnya?”
“Pak Solihin...!”
“Kabag Satpam kita?”
“Siapa lagi...”
“Dasar mata duitan. Mau saja disogok!”
“Ah, sudahlah. Tak baik ngomelin orang. Di Indonesia itu duit berbicara, duit adalah raja pertama dari tiga raja yang berkuasa.”
“Jadi dua raja lainnya apa?”
“Raja kedua adalah kekuasaan, sementara raja ketiga adalah pendidikan atau sekolah...”
“Jadi duit adalah segalanya...?”
Keduanya terdiam lagi. Soparong sekali-kali mengarahkan cahaya senternya ke sekitar perkebunan karet itu. Sementara Tong Sudin mengkhayalkan enaknya jadi orang kaya seperti Pak Ceknang.
“Enak ya, jadi orang berduit, Rong...”
“Enak apanya?”
“Ya, enaklah! Bisa beli apa saja yang kita inginkan. Juga bisa pergi ke mana saja kita suka! Seperti Pak Ceknang itu. Sebulan dia di sini. Satu bulan nanti di Singapura. Kemudian Hongkong, lalu Taiwan dan keliling Eropa, keliling dunia.”
“Makanya, dulu kamu disuruh sekolah, malahan pergi main kelereng! Bagaimana bisa pintar. Yah, sudah nasibmulah jadi satpam,” jengek Soparong.
“Enak saja. Kamu sendiri malahan main luncuran lumpur, sehingga pantatmu kemasukan cacing...” balas Tong Sudin tak mau kalah.
“Tapi kamu lebih parah lagi. Pernah dihukum guru berdiri di depan kelas dengan mengangkat sebelah kaki...” kata Soparong membalas.
“Itu belum seberapa. Dan tidak ada risikonya,” ledek Tong Sudin sengit. “Daripada kamu, pernah tertelan kotoran manusia sewaktu berenang di sungai!”
“Hii... hii... hii... hii...” Sebuah tertawa hampir tak berwujud terdengar di kejauhan, sehingga membuat kedua orang yang sedang berbantahan itu terdiam.
“Rong, kamu dengar lagi tertawa itu?”
“Ya...”