Pak Ceknang menghentikan Taft Hiline GTL-nya di bagian perkebunan yang agak tinggi. Tempat itu sudah diratakan dengan traktor. Rencananya di situ mau didirikan pabrik Crumb Rubber.
Dari tempat itu, bisa dilihat aliran Sungai Melawi yang meliuk-liuk seperti ular raksasa di lembah yang hijau di kaki bukit.
Orang tua itu membuka jendela mobilnya dan menyulut rokoknya.
"Rokok, Deng?" katanya menawarkan.
"Terima kasih, Pak. Saya tetap tidak merokok," desah Edeng.
Orang tua itu tersenyum memandang Edeng. Anak ini memang tidak pernah dilihatnya merokok. Apalagi mabuk-mabukan dan main perempuan seperti karyawannya yang lain.
"Lebih baik memang tidak merokok. Kalau sudah kecanduan seperti kami ini, susah menghentikannya."
Pak Ceknang mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya lewat hidung. Asap rokoknya menggelumbung sebelum buyar tertiup angin. Edeng memandang orang tua itu dengan kasihan. Dia dengan tenang merokok di dekat orang lain. Dia sama sekali tidak sadar, jika orang lain pun berhak atas udara yang bersih.
"Sebentar lagi kita punya pabrik sendiri, Deng! Jadi kita tak perlu lagi menjual karet kepada orang lain. Kita bisa olah sendiri," kata Pak Ceknang kembali membuka pembicaraan.
"Kapan rencananya, Pak?"
"Kalau tidak ada halangan, bulan Juni ini."
Edeng menatap dataran yang sudah diratakan itu. Luasnya sekitar seratus kali dua ratus meter.
"Berapa duitnya ini, Pak?"
"Sedikit. Hanya sekitar enam puluhan miliar!"
"Ooohhh," desis Edeng, menarik napas panjang. Bagi orang tua ini, uang puluhan miliar itu hanya sedikit.
"Apakah tidak rugi mendirikan pabrik sendiri, Pak?"
Pak Ceknang menatap Edeng sambil tertawa.
"Justru sebaliknya. Kita malahan bisa meningkatkan keuntungan sampai lima puluh persen. Bayangkan itu! Selain itu, kita tidak perlu lagi antre di depan pabrik-pabrik Crumb Rubber di Pontianak sampai berbulan-bulan hanya untuk menjual lateks kita. Itu kan tidak efisien, karena truk-truk kita jadi tidak bisa segera bergerak. Belum lagi sopirnya juga tidak bisa apa-apa selain menunggu dan menunggu."
Edeng mengangguk-angguk. Ditatapnya orang tua yang kelihatan masih sehat itu. Walaupun wajahnya akhir-akhir ini agak berubah menjadi lebih tua, tetapi ketegaran dan semangat hidupnya tidak pernah surut.
Edeng harus mengakui, jika orang tua ini sangat piawai dalam berbisnis. Sungguh merupakan suatu rahmat kalau dirinya diangkat anak oleh orang tua ini. Edeng bisa banyak belajar.
Edeng lalu teringat akan banyak peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di perkebunan karet milik Pak Ceknang. Kebetulan siang ini dia diajak oleh Pak Ceknang untuk melihat-lihat tempat di mana akan didirikan pabrik Crumb Rubber-nya. Mereka hanya berdua saja. Ini kesempatan, pikir Edeng.
Aku akan berbicara empat mata dengan orang tua ini.
"Pak!"
"Ya, Ed. Ada apa?"
"Kalau saya berbicara sesuatu, boleh, Pak?"
"Apa itu?"
"Mengenai keluarga Bapak, boleh?" ujar Edeng hati-hati.
Orang tua itu menatap Edeng, menunggu kelanjutan kata-katanya.