Okok Keang menarik napas panjang. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang tua itu tampak sangat masgul. Padahal, kalau mengingat usianya yang sudah hampir dua ratus tahun dan telah meninggalkan kenikmatan dunia, tentulah dia sudah begitu tenang.
Tetapi orang tua itu tetaplah manusia biasa yang mempunyai perasaan. Bisa sedih dan juga bisa marah. Hanya saja tingkat pengendalian dirinya sudah mencapai tingkat yang sangat sempurna dibandingkan manusia lainnya. Di samping itu, ilmunya sudah tidak terukur lagi—baik ilmu silat maupun ilmu kebatinannya.
“Dunia... dunia... Kapan akan ada perdamaian jika manusia selalu saling membunuh? Bagaimana bisa hidup tenang jika ada manusia yang bersekutu dengan iblis? Kapan manusia bisa hidup tenang jika ada manusia yang mengumbar hawa nafsunya?” desisnya sangat perlahan seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Orang tua itu berjalan perlahan menembus kegelapan malam. Namun, jika orang melihat caranya berjalan, pasti akan kaget setengah mati. Sebab kaki orang tua itu seperti tidak menginjak tanah—selalu berjarak sekitar satu jengkal dari permukaan tanah. Dan walaupun tampaknya ia berjalan perlahan, bajunya berkibar tertiup angin. Kalau kecepatannya diukur, mungkin akan melebihi 500 kilometer per jam.
Okok Keang pergi ke sebuah teluk yang oleh penduduk setempat dinamakan Teluk Bojuan, di sebelah Nanga Kemangai. Sejenak, orang tua itu memandang ke arah teluk yang dianggap angker oleh penduduk sekitar. Sebuah teluk yang cukup besar dengan diameter hampir tiga ratus meter. Di bagian sebelah kanan ke arah hulu, kedalaman teluk itu hampir mencapai sembilan puluh meter. Ke arah bagian teluk yang dalam itulah tubuh tua itu melesat. Anehnya, tidak ada riak gelombang air ketika tubuh itu memasuki air teluk. Lebih aneh lagi, saat tubuh orang tua itu sudah masuk ke dalam air, tubuhnya seperti dilindungi oleh tameng yang tidak terlihat. Sebab kira-kira jarak sejengkal dari sekitar tubuhnya terdapat ruang kosong yang tidak tersentuh air, sehingga dia tetap kering.
“Hem! Untuk apa kamu datang ke sini, Okok Keang?” desis seekor Buaya Putih raksasa ketika melihat kedatangannya. Buaya Putih itu mungkin yang terbesar di dunia, sebab tubuhnya hampir menutupi seluruh dasar teluk itu.
“Serahkan Sullob Hasong, dukun sesat itu, padaku,” perintah orang tua itu dengan lembut.
“Apa? Kamu minta nyawa cadangan pemuda itu? Bagaimana kamu bisa mengetahui bahwa aku yang sedang menjaganya? Tidak bisa! Aku sudah bersumpah untuk menjaganya!”
“Kamu jangan ikut membela kejahatan.”
“Aku tidak peduli dia baik atau jahat. Tapi aku tidak bisa melanggar sumpahku!”
Orang tua itu menatap Buaya Putih raksasa itu dengan pandangan tajam. Tapi sinar matanya lembut dan penuh kedamaian.
“Apakah aku harus memaksamu untuk menyerahkannya, sedangkan kamu tahu aku bukanlah tandinganmu?”
Buaya Putih itu termenung. Dia memang sudah berkali-kali bentrok dengan orang tua sakti ini. Dan setiap kali bentrok, hasilnya dia selalu berada di pihak yang kalah.
“Aku tahu. Tetapi aku tidak bisa melanggar sumpahku,” kata Buaya Putih penjaga dasar teluk itu tetap bertahan. Timbul juga keinginannya untuk menjajal kembali kehebatan orang tua yang selalu mengalahkannya ini. Apalagi dia telah bertapa di dasar teluk ini selama ratusan tahun.
“Kamu tahu tidak, di daratan manusia itu telah banyak menimbulkan kerugian dan kerusakan serta kematian bagi sesamanya. Jadi, sebaiknya kamu serahkan nyawanya itu agar aku musnahkan, sehingga dia tidak bisa berbuat kejahatan lagi.”