Di sekelilingnya hanya terlihat batu gunung. Lantai batu, dinding batu, dan atap batu. Ini baru namanya rumah batu. Gernis tidak tahu lagi dirinya berada di mana saat ini, apakah di luar tanah ataukah di dalam tanah. Semuanya hening. Sunyi. Sepi. Dingin.
Semuanya batu …
“Edeng...”
Jerit Gernis di dalam hati. Dua titik mutiara bening bergulir di pipinya. Yang bisa dilakukannya hanyalah menangis dan menangis. Di saat seperti ini, rasa rindunya pada Edeng semakin menjadi-jadi.
Rasa cintanya semakin bertambah. Edeng! Keluhnya dalam hati. Apakah kita masih bisa bertemu lagi? Seandainya kita tidak bisa bersatu, biarlah kutitipkan pesanku pada dinding batu ini. Aku mencintaimu dan akan terus mencintaimu. Biarlah kutunggu kamu di alam yang lain. Biarlah kutunggu kamu di kehidupan yang lain.
Gernis tidak tahu sudah berapa lama dia dikurung di situ. Tubuhnya sudah lemah. Rambutnya kusut masai. Keadaannya betul-betul tidak terurus. Bahkan selama ini dia hanya minum air yang mengalir di salah satu celah dinding batu itu. Gernis tidak pernah makan.
Sebab pada waktu dia pertama kali disuguhkan makan oleh tangan-tangan yang tidak terlihat, Gernis yang sedang risau tidak mau menyentuhnya. Kurang lebih satu jam kemudian, makanan itu berubah jadi jantung pisang rimba. Gernis jadi bergidik. Hal ini membuatnya semakin tidak mau menyentuh makanan apa pun yang ada.
Apalagi lama-lama makanan itu pasti berubah. Terkadang jadi potongan-potongan kayu. Terkadang jadi batu-batu kerikil. Sungguh suatu tempat yang mengerikan. Betul-betul sesuai istilah Dohoi Uut Danum; duon nomalliu, artinya di dapat dari tiwikrama.
Gernis juga lalu ingat dengan kucing hitam raksasa itu. Mengapa makhluk itu bertingkah seperti manusia saja? Apakah dia penjelmaan manusia? Ataukah binatang yang menjadi manusia? Apakah makhluk itu yang berada di balik semuanya ini?
Beribu pertanyaan memenuhi kepalanya. Tapi tak ada satu pun yang terjawab oleh Gernis. Semuanya begitu gelap baginya. Semuanya membingungkan.
Gernis kembali menangis. Dia menangis karena tidak pernah menyangka jika persoalan seperti ini akan ada dalam episode kehidupannya. Di sekolahnya dia tidak pernah mempelajari atau menemukan hal-hal gaib seperti ini.
Yang dia hadapi adalah hal-hal yang logis dan bisa diterima akal sehat. Dia jadi rindu Edeng. Dia jadi ingin bertemu dengan lelaki yang telah mencuri hatinya itu. Dia tahu, Edeng bukanlah pemuda sembarangan.
“Gernis!”
Gadis itu tersentak. Tidak salahkah pendengaranku? Apa mungkin...
“Gernis!”
Terdengar lagi panggilan itu. Apakah kucing hitam itu? Mustahil, pikir Gernis. Kalau kucing itu tentu sudah tahu tempatku.
“Gernis, kau mendengarku?”
Lagi-lagi suara itu memanggilnya. Suara Edeng. Benar, tidak salah lagi. Itu adalah suara yang sudah sangat dia kenal.
“Ka... kaukah itu, Mas Ed?”
Bergetar suara Gernis. Ada keharuan di dalam suaranya.
“Ya, ini aku!”
“Kamu berada di mana, Mas?”
Hampir saja Gernis menangis.
“Aku berada di luar. Sebaiknya kamu mundur ke tepi dinding di belakangmu.”