Edeng memandang botol kecil yang sudah dipecahkannya. Botol itu tergantung di langit-langit rumah batu itu, di tempat yang paling tersembunyi. Edeng harus mengerahkan segenap kekuatan bathinnya untuk menemukan botol Sullob Hasong, tempat iblis itu menyimpan nyawa cadangannya.
Edeng mendesah, karena botol yang dipecahkannya itu berwarna merah. Berarti tidak semua nyawa dukun itu ada di sana. Artinya, nyawanya sudah Ponollombang Aah (sudah di-photo copy), yaitu dari cadangan itu dibuat cadangannya lagi. Ibarat sebuah dokumen, dari sebuah gambar hasil dari photocopy, di-photocopy kembali.
Sebab, botol Sullob Hasong untuk menyimpan nyawa cadangan adalah berwarna biru. Lalu di mana dukun iblis itu menyimpannya? Padahal seantero tempat itu sudah diobrak-abriknya.
Ia kemudian kembali ke tempat Gernis. Gadis itu masih berada di tempatnya. Memang dia tidak berani melanggar perintah Edeng.
“Sudah kamu hancurkan Sullob Hasong-nya, Mas Ed?”
“Hanya yang berwarna merah. Yang berwarna biru entah di mana.”
“Maksud, Mas?”
“Dukun itu sudah membuat cadangan nyawanya dari cadangannya. Sebagian disimpan di tubuhnya, sebagian di Sullob Hasong botol merah, dan yang terakhir di botol biru!”
“Berarti dukun itu belum mati?”
“Ya, dan itu artinya semakin sulit dikalahkan!”
“Kita sekarang ke mana, Mas...?” Gernis memberanikan diri bertanya.
“Keluar dari bangunan batu ini!”
“Lewat mana? Sepertinya tidak ada pintu!”
“Sebentar,” desis pemuda yang tangguh itu.
Dia segera duduk bersila dan mulai mengatur nafasnya. Ia mengheningkan cipta dan menyatukan dirinya dengan gerakan alam semesta. Sementara itu, Gernis mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak terdapat di dalam rumah batu itu.
Ketika api sudah menyala dengan terang, di tempat itu tiba-tiba banyak sekali bayangan hitam di dinding. Padahal tidak ada siapa-siapa di situ selain mereka. Ada yang seperti bayangan kepala, ada yang seperti bayangan tubuh saja, dan ada yang hanya bayangan tangan dan kaki saja.
Gernis jadi bergidik. Bayangan-bayangan itu sepertinya mengitari mereka.
“Mas, aku takut,” desis Gernis lirih sambil memegang tangan Edeng.
“Pejamkan matamu. Jangan melihat bayangan itu,” perintah Edeng sambil terus bersemedi. “Ruangan ini dipenuhi oleh roh orang yang mati dibunuh dukun iblis itu.”
Mulut Edeng komat-kamit membaca mantera dan tangannya tiba-tiba merogoh sesuatu dari balik saku bajunya dan ditaburkannya ke arah empat penjuru angin.
Tasss! Tasss!, terdengar suara letusan ketika Edeng menaburkan serbuk yang diambil dari balik bajunya. Terdengar beberapa jeritan yang menyayat hati. Kemudian keadaan menjadi sunyi kembali. Bayangan-bayangan yang mengerikan tadi tidak ada lagi.
Edeng terus bersemedi dan menjelajahi tempat itu dengan mata bathinnya. Maka tampaklah oleh pemuda itu sebuah pintu yang sedang tertutup oleh batu-batu sebesar kerbau.
Edeng membuka matanya.