"Benar sekali itu," desis pak Ceknang. "Biaya untuk membangun jalan sejauh satu kilometer di Kalimantan, bisa untuk membangun jalan sejauh sepuluh kilometer di Jawa. Karena pulau Kalimantan banyak lahan gambut dan rawa-rawa, sehingga sebelum bisa di bangun jalan maka perlu dilakukan pengerasan dulu dan itu perlu biaya besar"
"Tapi kan hasil hutan dan hasil bumi lainnya seperti emas, pasir, batu bara, minyak bumi, uranium dan lainnya yang di ambil dari sini itu setiap tahunnya miliaran triliunan rupiah, Pak. Masa tidak ada yang bisa disisihkan guna membangun jalan untuk membuka isolasi ke pedalaman?"
"Itukan untuk perusahaan, bukan untuk negara," jelas pak Ceknang.
"Tapi kan negara punya kewenangan untuk membuat aturan agar pengusaha ikut bertanggung jawab, Pak. Jadi negara bisa saja memerintahkan pengelola hutan membangun jalan, hiyakan Pak? Toh hanya beberapa persen saja dari keuntungan mereka!"
"Entahlah, mungkin Pemerintah punya kebijaksanaan lain. Kita tidak tahu itu...!"
"Tapi Gernis tetap penasaran, Pak," kata Gernis. "Para pengusaha hanya pandai mengeruk keuntungan dari pulau Kalimantan. Dulu sewaktu Gernis masih kecil, tidak pernah terjadi banjir besar di sini. tapi setelah para pengusaha hutan masuk, air sungai bisa naik sampai lima belas meter jika sedang hujan. Sampai-sampai ada rumah penduduk yang hanyut. Belum lagi ikan-ikan di anak-anak sungai habis mati di tuba dengan racun tikus. Saya..."
"Sudahlah, Gernis. Jangan kamu pikirkan itu," desah pak Ceknang sambil menatap mata anaknya yang berbinar-binar penuh semangat. Semangat anak muda milenial yang sangat idealis memikirkan kemajuan bangsa dan rakyat.
Mereka boleh mencibir, memecah, atau mencoba menggoyang tiang bendera, tapi selama ada satu anak negeri yang masih bernyanyi untuk merah putih, NKRI harga mati …
"Biarkanlah itu menjadi pemikiran para perwakilan yang duduk di di kursi empuknya. Jangan hanya sibuk menambah istri …"
"Perwakilan apa? Dapur kali. Paling juga mereka tidur sewaktu ada rapat… Lagi pula kalau sudah duduk di kursi empuk mereka hanya memikirkan perut sendiri," desah Gernis kesal.
"Tidak baik bicara seperti itu. Kamu kan tidak pernah melihat mereka tidur sewaktu rapat..."
"Tapi, Pa...! saya lihat di televisi kok mereka ngorok ketika sedang rapat. Bahkan ada yang malah asyik menonton video porno atau sibuk berjudi online. Perwakilan apaan tuh?"
"Sudahlah Gernis. Papa mengajak kalian ke sini, untuk membicarakan sesuatu hal lain yang lebih penting," Kata pak Ceknang sambil menatap anaknya dengan penuh wibawa.
“Bukan membahas tentang keburukan para perwakilan. Papa yakin, pasti masih banyak juga diantara para perwakilan itu yang hatinya baik dan memikirkan rakyat. Tidak semua mereka bermoral bejat.”
Walaupun hatinya masih kesal dan belum puas, Gernis, diam. Iapun bertanya-tanya dalam hatinya. Papa mau membicarakan sesuatu hal, tentang apa?
"Kalian tahu, kenapa kubawa ke sini?" tanya pak Ceknang, setelah mereka dengan serius menunggu kata-katanya.
"Tidak tahu, Pak..." ujar Gernis.
Sedangkan Edeng hanya geleng-geleng kepala. Hanya nyonya Marulina yang sepertinya sudah mengerti.
"Edeng!" seru pak Ceknang setelah agak lama mereka terdiam.
"Ya, Pak?"
"Sudah berapa lama kamu tinggal ikut kami?"
"Sejak saya berumur enam tahun, Pak!"
"Apa yang kamu rasakan?"