Senja itu tiba-tiba percakapan Ghea dan Rama begitu mencair. Mengalir. Bak dua orang sahabat lama yang berpisah lalu dipertemukan kembali.
Ghea terlihat semangat menceritakan tentang dirinya yang sewaktu kecil suka sekali membuat istana pasir dan melukis di atas pasir setiap kali liburan ke pantai. Tidak luput Ghea ceritakan juga kesenangannya bermain teater dan menonton film. Rama menjadi pendengar yang baik. Sesekali saja dirinya mendebat pemikiran Ghea.
Ghea merasa semakin lebih mengenal Rama semenjak saat itu. Rama yang juga menyukai teater, film dan musik. Rama yang menguasai bemain gitar dengan baik dan memiliki seperangkat alat band di rumahnya.
Sudut kamar Rama yang disulap menjadi studio mini adalah pojok ruang spesial yang membuat cowok itu betah di kamar. Begitu penuturan Rama kepada Ghea.
Menggebuk drum sekencang -kencangnya dengan ear phone menyumbat lubang telinga demi menikmati suasana hati dan atau sedang berusaha meredam kemarahan dalam dada. Suasana rumahnya yang meski bak istana tapi di dalamnya bak neraka karena pertengkaran orangtuanya yang kerap terjadi tak mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam.
Kasihan Rama, kuda jantan yang kesepian. Sayang, sisi gelap dan kesepian dari lelaki itu tidak ada yang tahu kecuali panel-panel gambar yang menjadi pelariannya selama ini.
"Boleh aku tahu, kenapa kamu menyukai kegiatan melukis?" Rama bertanya sembari melirik Ghea.
’’Melukis adalah bahasa jiwa yang tersirat dari setiap sapuan kuas di atas sebuah kanvas. Di mana warna-warna dalam setiap lukisan mengajariku; begitu banyak peran yang berbeda di setiap warna yang ada. Peran-peran yang tidak begitu saja di jalankan dengan penuh emosional, sentimentil, apalagi dengan rasa yang tumpang tindih karena di paksakan. Catat: di paksakan!’’
’’Begitulah semestinya, menurut pandanganku soal melukis, sama halnya menjadi Istri, tidak berarti hanya terbatasi perannya: melayani suami, mengatur dan mendidik anak, dan selalu di rumah. Masih banyak peran-peran yang bisa di lakukan perempuan meski di luar rumah. Satu lagi, ya; perempuan harus juga bisa merdeka mengekspresikan dirinya, tidak semuanya di paksakan !" Ghea bercerita dengan penuh semangat tentang sudut pandangnya mengenai perempuan sebagai seorang istri.
’’Ghea, Kau juga sangat pintar dengan puisi. Aku pernah membaca puisimu yang dimuat koran nasional." Ghea kaget dengan ucapan Rama yang ternyata sudah mengetahui banyak tentang dirinya. Ghea tidak merasa Rama sudah stalking dengan akun medsos-nya atau apapun sehingga Rama tahu profesi yang juga menjadi kesukaannya ; menulis. Rama rupanya lelaki yang juga menyukai kegiatan membaca.
"Terimakasih. Aku sangat suka bermain-main dalam dunia imaji." Ucap Ghea akhirnya.
"Puisi bisa membuat hatimu lebih halus. Apalagi untuk jiwa lelaki yang kasar. Kebanyakan laki-laki menginginkkan tubuh perempuan tanpa terlebih dahulu mendalami perasaan-perasaannya.’’ Entah kenapa ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Ghea saat wajah Papanya melintas di kepala.
Mata Rama pun menerawang, di pelupuk matanya terlintas wajah bidadari surga bermata bening yang selalu basah dengan air mata, yaitu ; Kalina, Mamanya. Gesture dan mimik Rama jadi sedih. Ghea tidak menyadari perubahan itu.
Mobil jemputan belum nampak juga menjemput mereka. Ghea masih berapi-api meluapkan pendapat dan pandangan dirinya.
’’Betapa menyedihkan jika aku bertemu dengan lelaki yang begitu. Aku menginginkan laki-laki, yang pada waktu-waktu tertentu mengirimi aku puisi. Taburkan kata sarat makna yang di rangkai indah penuh perasaan. Sebelum bercinta, menatapku, menarikku dalam dekapan. Membisiki sesuatu yang membuatku senang dan terangsang. Bukan laki-laki yang langsung menerkam dan menindihku di atas ranjang! ’’Entah kenapa kata-kata Ghea tiba-tiba seperti dirinya telah menjadi perempuan dewasa.
Rama terkesima sekaligus diam -diam mulai tertarik dengan perempuan di sebelahnya. Unik dan istimewa. Gumam Rama lirih. Sepertinya aku sudah mendapatkan ide cerita untuk aku tulis. Batin Rama.