"Kejahatan perundungan memiliki realitas menjajah mental dengan jejak dan trauma sepanjang usia, bisa jadi. Pikirkanlah cinta sebagai keadaan rahmat, bukan sarana untuk apa pun, tapi sebagai alfa dan omega. Sebuah akhir dengan sendirinya."
Dari Buku Love in theTime of Cholera. Gabriel Gracia Marquez
***
Semesta sedang bermandikan sinar matahari yang membuat pagi terasa begitu hangat.
Koridor kampus ramai lalu lalang mahasiswa-mahasiswi. Wajah-wajah pemuda-pemudi harapan bangsa dipenuhi gelak tawa, canda ceria dan senyum berseri-seri mengiringi langkah- langkah tegas menuju masa depan yang gemilang.
Ghea sedang berjalan menuju ke perpustakaan kampus, Langkahnya terburu-buru karena ingin segera mendapatkan refrensi pendukung untuk esai-nya yang mengupas bullying di area kampus supaya bisa naik cetak di koran kampus sesuai rencana minggu depan selaras dengan permintaan Redaktur.
Ditengah kesibukan memilih buku-buku pskiologi remaja, kajian kekerasan rumah tangga, kajian pernikahan, mata Ghea menangkap sosok Rama dalam radius tiga meter yang sedang melewati pintu masuk perpustakaan.
Rama langsung memilih tempat duduk paling pojok ruangan perpustakaan.Di tangannya sebuah buku 'Love in theTime of Cholera' karya Gabriel Gracia Marquez. Sedetik kemudian terlihat Rama terhanyut dalam lautan kata-kata, Rama tidak menyadari Ghea yang mengamatinya dari jarak jauh.
Ghea semakin mengenali Rama. Di antara rak-rak buku yang tumbuh megah di dalam kampus, Rama semacam oase, Ghea merasa takjub. Rama tidak merasa kesepian dengan kesibukan menyelami dunia alfabetis itu. Ghea yang baru pindah kota dan belum banyak berteman, beruntung mengenalnya.
Bercakap sejenak, basa basi perkenalan selanjutnya ramah berbincang ragam topik membuat tanda bahwa Rama adalah Mahasiswa superior yang jenius. Gesture tubuh dan olah bibir memproduksi kalimat buah dari resonansi pikirannya berkisah menyerupai kisah-kisah dalam angan-angan para penyair sedang jatuh cinta yang mampu melahirkan barisan diksi romantis. Terlantun dengan rasa takjub bagi yang mendengarnya.
Tidak heran dalam waktu sebulan, Rama menjadi idola baru bagi mahasiswi-mahasiswi di kampus. Banyak teman perempuan yang mencoba menarik perhatian. Tetapi, Rama, lelaki yang wajahnya memang layak dicintai dan diperebutkan memilih bersikap dingin dan cuek. Ghea merasa perempuan paling beruntung bisa berteman dan dekat dengan Rama.
Belum lama mengenalnya, Ghea merasa nyaman. Ghea seperti amnesia begitu saja terhadap permasalahan terjadi dalam keluarganya yang begitu rumit dan pelik sehingga akhir-akhir ini membuatnya tidak betah dirumah.
Persamaan nasib itu menjadi chemistry bagi Ghea dan Rama mudah akrab, nyambung terhubung satu sama lain.
***
Ghea mencoba memberanikan diri mendekati Rama yang tengah tertawa senang pada sesuatu yang tak terlihat. Di depan lembaran buku yang membuka, keriangan Rama menjelma begitu pasang di permukaan wajah manis yang bersembunyi dibalik kaca mata minusnya. Tawanya menghalangi dan membuat kaki Ghea terhenti sejenak. Ghea menikmati Rama di antara gelak tawanya dan niat keseriusan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang tak pernah disampaikan oleh angin pada rerumputan dan ranting-ranting pada dahan atupun api pada abu.
Ghea adalah orang yang tertahan dalam penjara hasrat yang membawa beban berat di antara tulang sulbi dan dada demi adat ketimuran yang musti dijaga. Tiba-tiba Ghea merasa tidak bisa beranjak karena serangan demam di tubuh. Lalu, Rama pergi dengan segala keriangan yang tak pernah kering, meninggalkan Ghea tanpa melihat kehadiran gadis itu dalam radius yang tidak terlampau jauh dalam satu ruangan.Sadar melihat kepergiannya, Ghea mencoba bangkit dan mengejarnya, tapi seseorang tiba-tiba muncul secara misterius menghadang dan membawa Ghea pada ruang pengap di dalam sebuah rumah yang sunyi dan berbau rempah-rempah dan juga bangkai tikus yang terlihat sudah setengah mengering tergantung di atas pintu kamar.
Ghea tiba-tiba merasa takut dan tubuhnya bergetar. Sepertinya orang tak di kenal itu melihat Ghea ketakutan dan lantas mengatakan sesuatu yang tak jelas, tapi terdengar seperti tak peduli. Mungkin seperti itu, tapi Ghea rasa orang itu tidak sendiri, Ghea mengenali ini ketika tengah menertawai ketakutannya. Ghea mulai berpikir dan berontak. Siapa mereka? Mereka ini benar-benar sialan tiada tara dan tak tahu diri mencegat dan menculikku yang tengah mengejar Rama, si introvert yang jenius, dan membawaku pada kegelapan yang murung. Batin Ghea.