"Pernikahan bukan sekadar perihal hitam putih di atas kertas dengan tanda tangan sebagai dasar kesaksian dan kesepakatan kontrak perasaan seumur hidup melainkan ikatan suci dua manusia yang -seharusnya sampai maut memisahkan. Ingat! Tidak ada angka tanggal kedaluwarsa di dalam buku pernikahan." - Damar
***
Hingga datanglah pagi itu. Melanie memandangi wajah lelap Bisma di atas sofa. Melanie menyelimuti tubuh polos Bisma yang terkapar tak berdaya. Semoga kulitnya tak terlalu berat menanggung dingin dan malu. Pun mata Melanie, tak lagi mengirimkan sinyal nakal ke otak.
Melanie segera berkemas.
Melanie meninggalkan sebuah amplop bercap merah bibir di atas meja kamar hotel tempat persinggahan rahasia yang merekaa pilih untuk melucuti rindu yang berkarat kali ini. Melanie masih hafal betul isinya. Sebatang hasil uji kehamilan yang menampakkan dua garis merah muda beserta secarik kertas bertuliskan:
Menikahlah denganku. Aku tak ingin mewariskan dosa di sepanjang hidupnya. Dia darah dagingmu. Semoga engkau sepemahaman denganku kali ini, wahai Kuda Jantan yang manis.
Love,
Melanie, yang katamu mirip 'Sabrina Carpenter'.
Sebelum benar-benar beranjak dari tempat persinggahan rahasia itu, tatapan Melanie tertumpu pada satu lukisan yang semalam sempat Bisma lukis di selembar kertas berukuran A4 dengan pensil lukis yang sengaja Melanie bawa dari rumah.
Lukisan itu yang tadi malam menjadi gerbang pembuka requirm hasrat diantara simponi rayuan malam itu lalu berlanjut pada merapal mantra-mantra kerinduan menuju penyatuan hasrat dan pelepasan rasa dari dua bibir sepasang insan yang haus bercinta.
Lukisan kuda itu yang menurut Melanie ia betina. Sorot mata dan tegak hidungnya mirip milikku. Ah, begitu pintar Bisma melukisku dalam rupa yang lain ; kuda betina putih yang cantik. Biar aku bawa saja dan menyimpannya sebagai pelengkap kenangan romansa basah semalam. Batin Melanie sembari memesan taxi.
Ah! kesepakatan macam apa sebenarnya yang kami buat? Membuat kisah dengan ujung simpul tak menentu. Kami terjebak permainan perasaan yang dibuat bersama. Mestinya kami sadar. Hubungan cinta memang bukan sekadar perihal hitam putih di atas kertas dengan berbatas tanda tangan dan angka tanggal kedaluwarsa. Namun, ia juga tak semata kelekatan jasmani dan bercampurnya dua cairan.
Sayang, manusia modern seperti kita terlampau sering bermain perasaan. Maaf saja jika aku masih berharap kita tidak termasuk kaum yang bangga berpesta hasrat primitif atas nama nafsu sesaat. Kau tahu alasannya? Klise, aku sungguh mencintaimu, Bisma.
Aku mencintai rasa kanak-kanak yang kaututup rapat di balik tubuh bugarmu. Entah mengapa, aku merasa ada rengekan anak kecil sesekali melintas dari sorot elang matamu. Apakah lubang perasaan itu terlampau menganga?
Sebab apakah? Tak mungkin hanya tentang perselingkuhan istrimu yang merusak hati dan membuat murung harimu. Serumit apa persoalan lain di kehidupanmu yang belum aku tahu? Jika aku harus mempelajarinya, aku bersedia. Meski itu menghabiskan seluruh sisa umurku, aku rela menemani dan menambal lukamu, sedikit demi sedikit.
Draf kontrak perasaan. Memangnya ada? Ya, tentu. Itulah satu-satunya legalitas cinta sepasang adam-hawa yang diterbitkan lembaga bernama KUA. Aku masih perempuan konservatif yang pada masanya akan menuntut darimu, sebagai kesepakatan saling menyerahkan hidup masing-masing.