Dengan sisa -sisa cat di ujung kuas, jari Bisma lincah menyelesaikan goresan baru di atas selembar kanvas lebar menutup sekujur dinding. Ide itu berkelebat muncul begitu saja saat bayangan isi tembikar yang diserahkan perawat rumah sakit. Jantung Bisma berdetak kencang, seakan-akan hendak bertemu kekasih impian. Inikah jawaban yang kucari?
Membuat latar panggung laksana dalam sebuah pertunjukan mewah merupakan hal mudah. Menambahkan satu perampas perhatian, itu tugas utamanya. Untuk itulah Bisma menggambar lukisan berbingkai ini. Monalisa yang menangis dengan bayi mungil dalam gendongan, begitu nama koreografi yang ia tuang di sebidang kanvas yang terbaru.
Lukisan indah dengan obyek yang sedikit ganjil dan ironis. Tubuh perempuan cantik itu berbalut gaun ungu tipis. Bibir bergincu merah marun menambah manis, terlihat kontras bersaing dengan kulit putih oriental. Bibir itu seolah mengigit menahan perih.
Bayi mungil yang tampan dalam gendongan Monalisa terlelap dalam tiduran seolah tuli dengan tangisan ibunya. Rambut panjang hitam lebat menghias mahkota tergerai bebas serupa semak belukar, rimbun menghias lembah dari dua bukit yang indah memikat sekaligus menyempurnakan kecantikan wajah sang pemilik yang bersembunyi dari lelehan air mata meratapi nestapa dan kesedihan yang menjulang.
Sudah berhari-hari Bisma mencari ke antero sudut kota, warna merah yang cocok menggambarkan gelegar kesedihan nan gelisah tak berdaya. Sekarang, aku sudah mendapatkannya. Darah janin Bisma begitu padu menyuarakan itu semua. Ya, di sinilah tempat bersemayam terindahnya, dalam sebuah mahakarya sang ayah.
Ah, Bisma tidak menduga secepat ini menjadi bapak, bahkan mantan bapak. Siapa mengira Bisma sedang duduk di atas kereta luncur ulang-alik saat menghampiri rumah Melanie. Ada darah dan dagingku yang menginap dalam perutnya.
Saat ini, Bisma mengabadikannya menjadi prasasti cinta yang dikenang semua orang. Meski terbentang di sisi belakang panggung, lukisan ini akan memanggil setiap mata untuk mengamati. Seiring dengan lakon yang dimainkan, mereka akan merasakan jiwa lelaki sempurna bergema di gedung teater. Lelaki yang telah terbukti kejantanannya.
Kuletakkan kuas sehabis memandangi karya dengan lega. Kuraih ponsel untuk menghubungkan aplikasi sound voice. Bisma melantunkan berbaris-baris puisi yang begitu saja mencuat dari benak untuk bidadarinya. Biarlah sang operator bertambah sibuk hari ini. Menterjemahkan setiap suaranya menjadi kata-kata dalam pilihan diksi yang puitis dan romantis.
Ah, Melanie terlalu cerdas! Dia menghukumku dengan menyapih rindu untuk bertemu dengannya langsung. Menutup akses telepon dan hanya bersedia menghubungkan hatinya denganku melalui pesan teks dan suara.