Pisau waktu itu bernama pengkhiantan rasa. Janju-janji berterbangan bersama hura hara main hati yang entah kapan di mulai.
Lalu, rupa semesta cintaku pucat pasi. Tak ada lagi aroma matahari yang hangat, udara yang segar, kecuali lagu- lagu sumbang yang terus aku nyayikan dari hati ke mulut dengan aroma luka diri luka hati yang menjelma parade doa-doa.
***
Back to Damar.
Semenjak resmi bercerai dari Melanie, Damar mengira kehidupan rumah tangganya akan membaik setelah menikahi Karin. Ternyata dugaan Damar salah. Karin bersikap bak menyimpan gunting dalam lipatan dibelakangnya.
Karin kembali ke karakter aslinya yang doyan berburu sugar dady dan sugar baby.
Bencana baru rumah tangga Damar di mulai dari sini.
Elang Lesmana. Karin melihat pertama kali cowok itu dari layar televisi di acara showbiz yang meliput bengkel teater 'Garuda' milik Lesmana.
Wajah tampannya bertameng kacamata hitam. Membuat pria yang baru dewasa itu sama sekali jauh dari kesan cengeng. Justru, pemandangan selintas dalam layar analog yang terkadang bergoyang itu memicu aliran darah Karin berdesir lebih cepat.
Sungguh, Karin sudah berusaha keras mengingkari perasaan ini. Lalu diam-diam benteng kesetiaan itu runtuh. Karin menyuruh Seno, adiknya untuk mencari tahu semua hal tentang Lesmana.
Namun, semuanya runtuh saat tak terduga Karin bertemu dengan Lesmana di tengah suasana persidangan perceraian suaminya kemarin.
Lalu diam-diam mendatangi Lesmana di sebuah studio lukis yang sekaligus menjadi toko galeri untuk lukisan cowok itu. Studio itu berada tepat di samping kantor pengadilan agama.
Karin yang waktu itu mendampingi Damar menghadiri persidangan cerainya dengan Melanie bahkan sempat membeli beberapa lukisan dari studio itu yang dilayani seorang pramuniaga. Siapa sangka, studio itu ternyata milik Lesmana.
Karin lalu sengaja mengulang. Kali ini cewek itu mendatangi sendiri studio Lesmana dengan memakai jasa taxi untuk mengantarkan.
Pucuk dicinta ulampun tiba. Karin sangat beruntung dilayani langsung sang pemilik studio. Pramuniaga yang biasa jaga sedang berhalangan hadir karena ijin sakit.
Senyum dalam tatapan mata Lesmana waktu itu seolah memanggil. Mungkin, dengan cara itulah lukisan perempuan bergaun putih yang sedang menuntun kuda jantan berwarna hitam telah berpindah pemilik, diganti dengan lembar-lembar bergambar Jenderal tersenyum sebagai pecahan nominal tertinggi.
Lalu, sebagai bonus pembelian lukisan, Karin meminta Lesmana untuk bertukar nomor pin BBM. Tentu semua itu akal-akalan Karin saja untuk memuluskan pendekatan dirinya ke Lesmana. Dasar, Karin Sang wanita penggoda ulung!
Teringat lagi fase di mana akhirnya Karin berani melangkah jauh menantang risiko, mendekati Lesmana.
Serupa rengekan anak kecil meminta dibelikan gulali dipasar malam atau dibelikan es cream kesukaan, begitu Karin saat ini beracting penuh penghayatan demi membujuk Damar mau meluluskan permintaan di temani menonton pagelaran teater Garuda.
Damar tentu menolak permintaan itu karena tahu ada Melanie dan Ghea terutama Bisma yang turut serta menjadi pemain dalam pementasan. Damar mengetahui semua itu dari poster digital yang bertebaran di beranda medsos-nya.
Tapi Karin selalu tahu bagaimana caranya memastikan Damar mengikuti kemauannya. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga suami sirinya itu, lalu mulut sensualnya berbisik, "Kalau kamu menemani, aku janji bakal mau mempraktekan 'gaya' baru seperti yang kamu mau nanti malam.''
Damar terbelalak.
***
Duduk di sebelah Damar dan menyaksikan semua pesona Lesmana dari radius jarak yang sangat dekat, yang malam itu menjadi bintang paling bersinar di atas panggung teater membuat perasaan Karin pun tercubit-cubit. Untuk ke sekian kali, Karin harus kembali menyimpan rapi segala gelegak yang menderu di batinnya. Damar tidak boleh tahu kenakalan itu.
Kenyataan lain, Lesmana yang juga terpukau oleh pancaran pesona keayuan Karin bak Ratu Cleopatra. Keanggunan Karin bak bidadari yang baru turun dari khayangan. Karin yang duduk manis di kursi tengah deretan depan itu- semakin menjerat hati Lesmana di kali kesekian - pertemuan mereka itu.
Di sudut kanan panggung yang tak tersirami cahaya lampu sorot, Lesmana membacakan puisi sebagai prolog dalam pertunjukan teater yang dihadiri Karin. Sorot mata elang Lesmana menatap Karin dengan pandangan penuh makna.