Awalnya Karin bangga telah berhasil membuat Damar bercerai dari istrinya. Perlakuan Damar yang memanjakan dirinya seolah sebagai anak hampir membuat Karin ingin melupakan rasa dendamnya. Damar mengayominya sebagai pengganti orangtuanya. Tetapi, makin ke sini Karin merasa terkunci dengan sikap egois, posesif dan sifat tempramental Damar yang kambuh.
Damar sering marah dan menyakitinya tanpa sebab dan alasan yang jelas. Sikap Damar ternyata setali tiga uang dengan dirinya mudah memanipulasi keadaan.
Karin pernah berniat mengubur dendam kepada Damar, lalu membangun mimpi yang tertidur lama di hatinya, mimpi itu pernah dengan menggebu-gebu ia ceritakan kepada Damar perihal keinginan membangun rumah tangga yang baik sebagai mahkota di hidupnya suatu saat nanti.
Tapi, kini Karin merasa asing dengan suami sirinya itu.
Karin merasa Damar telah merampas kemerdekaan hidupnya.
Pernah dalam percakapan dengan Lesmana di studio lelaki itu, Karin mengungkapkan kekalutan pikir yang chaos dan kuldesak di kepalanya.
"Kau dan siapapun lelaki boleh saja menerka apa yang ada dalam isi kepala perempuan sepertiku, tetapi jangan harap kalian temukan sesuatu kecuali kekecewaan. Apalagi untuk menyelami hingga dasar batin, di mana rasa luka terpelihara bersama jejak sejarahnya." Lesmana mendengarkan sambil terus mengejawantahkan pose Karin saat ini di sebuah bidang kanvas lukis. Sapuan kuasnya menggambar tekstur wajah Karin.
"Kalian sesungguhnya perlu bertanya kembali kepada tujuan awal mengenal perempuan, terlebih kepada seseorang yang pernah kau pikat hatinya. Dengar, lihat dan rasakan konstelasi peristiwa yang melahirkan perempuanmu seperti saat ini." Karin berapi-api bak orator ulung menyuarakan suara hatinya.
"Jangan terburu-buru membengkok-an masa lalu perempuanmu lalu kamu belokan sesuai maumu sejalan arah tujuanmu. Memaksa perempuan berdiam di gerbong mimpi yang sama tanpa memetakan pikiran dan laju kenangan yang menyertainya itu sama saja merampas hak-haknya sebagai perempuan yang merdeka atas tubuh dan pikirannya." Lesmana terkesima dengan cara berpikir kritis Karin. Dugaannya benar, Karin adalah perempuan yang cerdas.
"Aku bukannya sedang mengakui perihal topeng kepalsuan yang menjadi kecenderungan sikap sebagian banyak perempuan sepertiku. Terkadang, tersenyum adalah hal yang paling mudah untuk sejenak melupakan kesedihan, menutupi fakta yang sebenarnya dengan memanipulasi keadaan. Percayalah, mudah sekali melupakan seseorang. Hal yang tersulit adalah melupakan kenangannya. Apalagi kenangan itu perihal kebersamaan dengan orang tercinta yang menjadikan alasanmu terlahir di dunia ini."Karin terisak diujung kalimatnya yang penuh emosional.
"Lelaki kerap kali gegabah dengan mendikte pasangannya untuk memaksa menjual kenangan masa lalunya dengan impian autopis sebagai iming-iming dalam hubungan baru." Karin menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan kuat-kuat seolah sedang membuang kegelisahannya yang membuat sesak paru-parunya
Lelaki yang egois dan workaholic seperti Damar membuat Karin merasa sebuah kehangatan dalam keluarga tidak berada diperingkat paling penting dalam sasaran hidupnya. Karin merindukan keluarga yang hangat sepanjang hidup melewatinya bersama lelaki pilihan pada masanya nanti.
"Sehingga bisa kupastikan kau bakal memahami ketika kukatakan bahwa mungkin banyak lelaki yang bisa memberikan kepuasan berahi, lebih banyak daripada mereka yang sanggup menyediakan kepuasan materi. Karin terlihat dingin menanggapinya dengan, "bakal lebih sedikit lagi yang mampu mempersembahkan kepuasan hati," yang langsung Lesmana iyakan ucapan Karin itu.
Entah, Karin bermaksud menyidir siapa. Jelas Lesmana belum pernah berumah tangga.
"Kelak kau akan mengerti dengan sendirinya," timpal Karin seolah perjalanan hidup telah membuatnya dewasa dan matang sebelum waktunya.
"Sebagian besar anggapan lelaki, bahwa berkat keunggulan nalarnya, mereka merasa tahu semua hal, termasuk isi kepala perempuan." Lanjut Karin seolah belum puas dengan segala uneg-uneg di pikirannya.
Senja itu, Karin menghunus pedang kemarahannya dengan diksi-diksi tajam menyuarakan kegelisahan dan pemberontakan dalam dirinya. Lesmana sore itu gagal menyelesaikan lukisannya karena konsentrasi yang terpecah mendengarkan Karin.
***
Beberapa mingu kemudian.
Taksi online yang ditumpangi Karin melaju sedikit lebih kencang. Sorot lampu-lampu jalan, nyala terang deretan neon box dan papan iklan, tak membuat pikiran perempuan itu rebah istirahat barang sebentar. Berkali-kali kupandangi layar ponsel yang terlihat begitu silau di keremangan dalam mobil, kala mendung di langit Jakarta seperti hendak runtuh petang ini.
Karin ingin segera sampai di acara malam ini di lokasi yang sedang ia tuju. Lalu lintas yang padat sedikit membuatnya risau takut terlambat. Satu-satunya penyebab kepanikan perempuan itu tak lain karena tak ingin kehilangan kesempatan melihat Lesmana membaca puisi di panggung salah satu kafe 'Anomali Rasa' sebagaimana poster digital yang dipasang di status Lesmana sejak kemarin.