Pelajaran matematika tengah berlangsung, Pak Peter yang terkenal killer abis itu ( walaupun tidak juga cukup garang dibandingkan dengan guru matematika lain) tampak antusias mengajarkan dalil- dalil Phitagoras pada seluruh siswa. Aku memilih membuang pandanganku jauh-jauh keluar kelas melalui jendela kaca yang berada tepat di sisi kananku. Dari sudut jendela yang strategis ini bisa kulihat seluruh gedung SMU itu dengan leluasa. Tanpa menanti perintah otakku-mataku yang telah terbiasa dengan rutinitas ini melakukan tugasnya, menjelajah mencari sosok itu. Seperti biasa aku akan mengawasinya dari balik jendela ini.
Sebuah senggolan yang cukup keras membuat buku-buku LKS matematika yang harus kuantar ke kantor guru atas perintah Pak Peter berjatuhan.Aku mendengus kesal dan ingin sekali secepatnya memaki orang ceroboh yang menubrukku, tapi tentu saja tak jadi saat bola mataku menangkap seraut wajah itu.
"Kamu tidak apa-apakan?" Tanyanya dengan lembutnya sambil memunguti buku- buku itu dan aku cuma bisa membisu sambil memandanginya. Kini saat aku berjongkok berpura-pura membantunya memunguti buku-buku itu pun aku tak hendak mengalihkan pandanganku dari dia.
"Kamu tidak apa-apa kan?" Dia mengulang lagi pertanyaannya saat melihatku masih termangu. Aku menggeleng pelan. Pelan sekali.
Ah, apa yang harus kukatakan..??? Bagiku tubrukan ini tak menyakitkan sama sekali, bahkan menyenangkan. Kini aku bisa menatapnya lebih dekat, berbicara dengannya dan menyentuh jemarinya dengan badan panas dingin saat tadi tanpa sengaja kami memegang buku yang sama. Apa harus kukatakan aku bahkan rela tertubruk mobil yang dia kendarai asalkan kemudian dia turun dari mobil itu, menggendongku di dalam pelukannya dan tidak pernah pergi lagi dari sisiku. "Kamu yakin baik-baik saja kan?" ulangnya untuk yang ketiga kalinya padaku. Ada rona cemas di wajahnya saat dia membantuku bangkit dari posisiku yang masih berjongkok.
"Yaa...ya, aku nggak apa-apa kok," ucapku tergagap.
"Bagus deh. Aku ngerasa bersalah loh kalau kamu kenapa-napa karena aku."
"Beneran nggak apa-apa kok, Kak." Aku kikuk saat menyadari matanya menatapku dengan pandangan intens. Lalu kusadari seluruh LKS telah berada di pelukannya. Kan seharusnya aku yang membawa seluruh buku-buku itu. "Biar aku yang bawain buku-buku itu, Kak," aku meminta.
"Nggak perlu, biar aku aja."
"Tapi kan yang disuruh Pak Piet itu aku, Kak."
"Kan aku barusan nabrak kamu." Dia sudah bicara kamu-kamu aja dan membuat wajahku makin merah bak kepiting rebus. "Anggap aja ini sebagai permintaan maaf aku ke kamu."
"Tapi...Kakakkan anak SMU loh, nggak lucukan kalau...."
"Gue SMP di sini juga kalee. Nyantai aja. Pak Piet dan guru yang lain juga nggak bakal marah." Dia melangkah lebih dahulu tanpa mau mendengar bantahanku lagi. Aku mengekor pelan di belakangnya sambil memandangi punggungnya yang makin menjauh. Memandang punggungnya saja membuat jantungku hampir meledak.
Tenang, Nadya, bisikku pada diriku sendiri sambil mengelus dadaku yang makin bergemuruh.
Aku masih sibuk dengan perasaanku sendiri ketika suara teriakannya terdengar. "Loh kamu kok jauh banget?" Menyadari diriku dipanggil, aku bergerak mendekatinya yang membisu di tempat sambil menantiku.
Dia mengulurkan tangannya dan saat telapak tangan itu menyentuh telapak tanganku, aku merasakan sebuah aliran elektrik menyengat tubuhku hingga sedikit bergetar. Apa itu cinta? Rasanya hangat dan damai. Dia menggenggam tanganku memasuki ruang guru.
Hari-hari berikutnya giliran dia yang sembunyi-sembunyi mengawasi ku. Apa dia punya perasaan yang sama dengan yang kini kurasakan? Aku ingin menanyakannya tapi tak pula berani. Brakkk...,kami bertubrukan lagi pagi ini. Aku terjatuh dan dia buru-buru menolongku berdiri.
"Kamu tidak apa-apakan?" Tanyanya lagi dengan lembut sekali, melambungkan perasaanku ke langit ke tujuh. Aku menatapnya tanpa suara. Hanya ada detak jantungku yang menjawab pertanyaan itu. Jantungku meloncat-loncat tinggi bagai seorang anak kecil yang baru mendapat oleh-oleh bagus. Kulihat dia memungut undangan kakak SMU yang baru kuterima tadi pagi dan terjatuh karena tubrukan ini. Ia menyerahkan undangan itu kembali kepadaku."kamu benar-benar gak apa-apakan?" Ulangnya saat melihatku masih termangu tanpa berkedip memandangnya.
"Nnnggak apa-apa," ucapku lagi-lagi tergagap.