Sepuluh tahun kemudian.
"Nadya!" Suara itu memanggilku saat aku menjejakkan kaki di cafe mungil tempatku dan para sahabatku biasa berkumpul. Kafe J&J adalah sebuah kafe sederhana di sudut kota. Kafe itu tidak terlalu besar, kalau boleh dibilang hanya sederhana begitu juga dengan menu yang dihidangkan di sini, tapi tempat ini begitu nyaman. Sebuah pohon besar melindungi atap kafe ini dari sengatan panas dan terik cahaya matahari di siang hari di musim kemarau panjang ini. Di sore hari seperti ini, pohon itu membuat sore menjadi lebih syahdu.
Aku mencium hangat pipi Wina. "Happy birthday to you. Nih aku bawain kue ultah lu. Langsung dari tangan koki yang membuatnya."
"Suntuk amat muka lu, Bukk. Kenapa?" Wina, sahabatku sedari bangku sekolah menengah pertama menatapku dengan cengiran khasnya. "Jangan bilang masih mikirin masa lalu. Move on dong, Bukk."
Wina bertubuh mungil lebih kecil jika dibandingkan dengan tubuhku yang bertinggi seratus lima puluh tujuh centimeter. Namun Wina punya mata indah yang berwarna cokelat. Dia adalah satu-satunya teman SMP yang menemaniku saat aku harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan usai kecelakaan di depan sekolah. Setiap hari sehabis pulang sekolah, Wina bakal selalu menyempatkan diri untuk menemaniku di rumah sakit hingga aku tidak merasa terlalu kesepian. Dari Wina juga aku tetap bisa mengikuti pelajaran sekolah hingga walaupun aku absen aku tetap tidak ketinggalan pelajaran. Wina sedikit galak dan bawel, hari-hariku bersamanya adalah hari-hari panjang yang dipenuhi nasehat dan protes terutama tentang Alexander-kakak sekolah kami yang ganteng itu. Namun aku jelas tahu itu karena dia mencemaskanmu.
"Lu gila, ya, Nad. Lu masih coba cari tuh orang? Stalker medsos dia?Kurang sakit lu dulu?" Aku hanya bisa memberengut mendengar ucapan Shasa. Sahabatku yang satu ini beda dengan Wina. Dia sebenarnya kalem dan lembut, tapi kalau sudah ngomong suka nyakitin hati. "Move on dong, lu, Nad. Apa lu maksa nyari dia untuk reuni Akbar SMP dan SMU Van de Boshco?"
" Ngaco lu. Siapa juga nggak mau move on."
"Terus kok lu terus ingat masa lalu?" Wina bicara lagi, "sepuluh tahun loh, Nad. Gue mikirinnya aja mau mual."
"Pacaran nggak, tapi broken heart lu parah banget."
Deg. Jantungku terasa ditonjok keras dengan ucapan Shasa. Tuh, salah satu kelebihan kalau nggak mau dibilang kekurangan Shasa, mulutnya lebih tajam dari silet walau yah...harus aku akui benar sih. "Gue nggak nyari dia, ya," aku membela diriku, "tiba-tiba aja Gina nunjukin medsos dia." Aku menyebut salah satu teman SMP ku dan Wina yang kujumpai beberapa minggu lalu secara tak sengaja. Saat berbincang tentang pekerjaanku kini sebagai koki di sebuah resto, dia menunjukkan medsos Alex padaku.
Kakak sekolahku itu memang populer sih diantara semua anak SMU bahkan cukup populer di mata siswa SMP sepertiku. "Gina bilang dia punya resto gitu. Aku benar-benar tidak dengan sengaja mencari tahu dia." Aku jujur.
"Gue senang lu nggak mencari tahu dia. Gue benci obsesi lu sama dia." Wina bicara lagi, matanya jelas memperlihatkan kecemasan padaku. "Gue nggak mau lu terluka lagi. Lu beruntung banget waktu itu masih hidup tau."
Ya, harus aku akui aku memang sangat beruntung sekali waktu itu. Itu akan menjadi kenangan yang mengingatkanku bahwa Alexander bukan tercipta untukku.
"Gue udah move on kalee. Lagian kalian ini, ya, sahabat kok cuma bisa bilang move on...move on mulu. Gue butuh bantuan nyata dari lu berdua."
"Maksud lu apaan?"
"Cariin gue cowok." Aku nyengir diantara lototan mata Wina.
"Cariin gimana maksud lu? Gue juga masih jomblo tau." Aku nyengir memandangnya berarti waktu reunian aku masih aman karena punya teman senasib. Senasib jomblo.