Dia masih setampan dulu bahkan lebih, waktu membuatnya makin sempurna bagaikan seorang dewa Yunani. Jantungku berdegup lebih kencang saat mata kami bertautan.
Ya, aku pasti bermimpi.
Aku mencubit lengan tanganku lalu meringis saat merasakan sakit.
Amazing. Ini bukan mimpi..ahh, atau lebih cocoknya ini mungkin mimpi yang jadi nyata.... Dia benar-benar ada di hadapanku....
"Hei, apakah kau pergi dari sini untuk bekerja di tempat lain?! Di restoran lain?! Kau tidak sadar bahwa dirimu bertanggung jawab untuk makanan penutup di sini, apa kau tahu apa yang terjadi jika kau tak ada di sini??! Apa kau mau bertanggung jawab pada kerugian yang dialami restoran ini nantinya??!"
Alexander ada di hadapanku. Aku bermain lagi dengan pikiranku, Ini nyata. Bukankah yang mengucap wish dan berulang tahun adalah Wina? Kenapa aku yang mendapat keberuntungan? Aku ingin melompat kegirangan, semesta kini mempertemukan kami kembali dan memberiku satu lagi kesempatan untuk memperjuangkannya.
Aku mengangguk yakin itulah yang sedang terjadi.
"Kau mendengar apa yang aku ucapkan??!" Suara Alex meninggi. Untungnya aku segera sadar dan menemukan netra setengah melotot itu memandangku. Dia pasti berpikir betapa anehnya aku ketika melihat bagaimana aku terbengong-bengong, mencubit tangan sendiri bahkan meringis karena dirinya.
"Maafkan saya. Tapi saya sudah membuat seluruh desert untuk hari ini sebelum izin pergi sebentar," aku bicara hati-hati, sangat hati-hati. Aku ingin membuat kesan pertama yang baik di matanya. Orang bilang kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda... Aku harap dia tergoda.
"Oh,ya?" Dia tertawa mengejek. Guratan khas di wajahnya saat tertawa kecil terlihat. Matanya yang hitam menatapku tajam dan efeknya selalu sama: menembus langsung hatiku, merobek rasa dan logikaku. "Lalu kenapa yang kulihat bekerja adalah John? Apa kau menyerahkan hiasan makanan penutup dan mengatakan kau sudah menyelesaikan semua?"
Kesan yang kubangun sia-sia. Dia jelas terlihat tidak tergoda, lebih parahnya dia malah terlihat tak menyukaiku.
Aku menatap wajah John, mencari jawaban. Aku jelas bisa memastikan telah membuat begitu banyak desert yang kuyakini cukup untuk hari ini bahkan mungkin berlebih, bagaimana bisa dia membuat dessert kembali? Sialnya dia malah tengah menundukkan wajahnya.
"Kau sudah bekerja beberapa tahun di sini dan Chef Sam meyakinkanku bahwa kau adalah seorang koki yang handal. Dia bahkan memberimu kewenangan untuk memimpin tim desert, jika tahu kemampuan seorang chef desert di restoranku cuma sepertimu, aku mungkin sudah mencari penggantimu jauh-jauh hari." Aku tidak menyangka Alexander- pria sempurnaku bisa bicara sepedas itu. Dari kejauhan dia selalu terlihat seperti sekotak coklat manis yang menarik dan menggugah selera bukan seperti cabe jalapeno yang pedas dan membuat setiap orang bakalan menolak. Aku hanya bisa menundukkan kepala.
"Sebenarnya kau ingin bekerja atau tidak?!" Dia memekik lagi. Namun sebelum aku menjawab, dia telah berbalik memunggungiku kembali. Menatap seluruh teman-temanku yang seketika mengambil gestur yang sama sepertiku: menunduk.
"Kalian boleh pulang. Biarkan dia yang menyelesaikan sisanya termasuk membersihkan seluruh restoran ini. Jika kau ingin bekerja dan membutuhkan uang bukankah kau harus tetap di sini pada jam kerjamu?" Dia berkata jelas untuk mengejekku sebelum menutup kalimat untuk mengeneralisasi perkataannya, "Ini berlaku juga buat kalian."
"Iya, Pak." Teman-temanku berseru serempak sudah seperti barisan dalam upacara bendera tujuh belasan di masa sekolah dulu.
"Tapi, Pak restoran ini terlalu luas. Chef Nady tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri. Izinkan kami membantunya, Pak," Arno bicara membelaku.
"Apa aku meminta pendapat kalian? Apa yang masih kalian lakukan disini? Bukankah sudah kuminta kalian untuk pulang?"
"Iya, Pak. Terima kasih."
"Selamat malam, Bos."
"Malam, Mbak Nadya."
Aku menatapi kepergian teman-temanku dengan perasaan tak rela. Mereka memberiku isyarat tangan yang menandakan 'fighting' atau' semangat'. Semangat bagaimana? Ini sudah malam dan tenagaku sudah cukup terkuras sedari pagi. Tadi pagi hingga siang aku bahkan bukan hanya bekerja membuat desert, tapi juga membantu di makanan utama karena mereka kekurangan koki akibat pengunjung yang cukup membludak hari ini.
Yang terakhir pergi adalah Alex. Aku memandangi punggung itu menjauh, keluar dari pintu resto untuk beberapa waktu lamanya. Itulah pria yang kupuja. Kini dia hanya berjarak beberapa langkah dariku. Namun rasanya selalu ada benteng kasat yang membatasi kami.
Beberapa saat aku kembali tersadar. Satu-satunya orang yang tertinggal di resto adalah diriku. Melirik arloji di pergelangan tanganku, aku menyadari hari telah cukup malam, jika aku tidak bergegas maka bisa-bisa aku pulang esok malam. Bergegas aku meraih alat kebersihan yang tersimpan di lemari sudut di bawah tangga dan mulai menyapu lantai seluruh restoran. Seharusnya anak dapur hanya memastikan kebersihan dapur, tapi kini aku harus memastikan kebersihan seluruh ruangan.
Aku bersyukur karena sebenarnya OB telah menyelesaikan sebagian besar pekerjaan mereka dan hanya tinggal sebagian kecil lantai bawah dan lantai atas dan sebuah ruangan kerja pimpinan resto yang kini tentunya akan ditempati Alexander setelah pergeseran Pak Ari ke cabang Bandung. Dengan semangat empat lima aku mulai membersihkan seluruh lantai bawah yang tersisa. Dimulai dari melap seluruh meja dan kursi, memastikan segala pernak pernik di atas meja makan seperti plangkat nomor meja, tempat tissue, keranjang snack tertata rapi di atas meja lalu aku mulai menyapu seluruh lantai bawah dan mengakhirinya dengan mengepel sebelum aku beranjak ke lantai atas untuk melakukan hal yang sama. Hingga aku tiba di ruangan manager restoran yang pasti kini di tempati oleh Alexander Yudhistira. Aroma kamar itu merasuki penciumanku. Sebuah aroma maskulin.
Perlahan aku mulai merapikan meja kerja itu. Tak bisa dikatakan berantakan, sangat rapi bahkan. Kusadari dia mungkin datang hanya untuk mempersiapkan meja kerjanya. Oke, jika begitu keseluruhan ruangan ini seharusnya masih sangat bersih. Aku menyentuh permukaan meja itu dan benda-benda yang ada di atasnya, memastikan tak sedikit pun debu yang menempel di sana. Sempurna. Masih bersih dan kinclong. Ini akan menghemat tenagaku. Aku baru saja bersenang hati, saat di detik selanjutnya mataku tertumbuk pada sebuah figura foto.