Aku memasuki areal restoran dengan wajah kusut. Kejadian kemarin membuatku nyaris tak dapat memicingkan mata barang sekejap pun. Bayangan wajah Alex mengusik tidurku. Aku merasa kembali pada sepuluh tahun yang lalu di masa-masa SMP ku, mulai membayangkannya di setiap saat, tapi kini disertai rasa takut: takut jika akhirnya aku mulai melakukan tradisiku yang lalu- memperhatikannya diam-diam.
Benar saja entah bagaimana mataku mulai mencarinya. Dia kutemui di pelataran parkir depan restoran, tengah memarkirkan kenderaannya dan kini melangkah menyusuri halaman depan restoran yang cukup lebar dan berundak bagai petakan sawah. Aku mempercepat langkahku menaiki anak tangga. Demi Tuhan, aku tidak ingin menemuinya lagi. Jika ini mimpi, aku ingin terbangun lebih cepat. Namun ini bukan mimpi.
Aku takut pada perasaan ini. Takut akan kecewa kembali karena tahu dia tercipta bukan untukku. Ada gadis lain di sisinya. Gadis yang mendapatkan seluruh cinta dan perhatiannya.
"Lu tau dimana tempat paling nyaman buat pacaran secara arafiah dan buat kantong lu juga?"
"Tuh di cafe ujung kelokan tuh. Cuma beli segelas kopi terus WiFi an seharian sama cewek lu nonton film dari youtube. Hemat. Aman buat kantong lu."
"Bukan nih tempat gratis bisa WiFi an juga."
"Gratis. Sompret. Serius lu?"
"Dimana? Dimana?"
"Di bawah kolong meja bar."
"Itu sih buat lu cowok kurang modal."
"Enak aja lu. Itu bukan gue, tapi ada deh." Candra yang tengah berbincang dengan beberapa anak front depan resto tertawa ngakak. Namun segera berhenti saat melihatku di depan mereka. Aku melirik pada anak front resto yang tengah bercanda gurau dengan Candra.
"Pagi, Mbak Nadya."
"Pagi."
"Candra, lu udah siapin bahan buat klappertaart?" Aku memasang wajah seseram yang kubisa pada bawahanku yang kesukaannya ngerumpi bareng waiters. Candra cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kebiasaan yang berarti dia melupakan pekerjaannya. "Cuci tangan lu ambil bahan di dapur besar terus ikut ke dapur."
Dapur resto ada dua. Satu yang aku maksud dapur besar adalah dapur untuk membuat masakan utama. Dapur utama cukup besar dengan kompor-kompor dan rak-rak besi besar dan sebuah stroge ice berukuran besar yang salah satu untuk daging dan makanan beku. Dapur lain adalah dapur khusus dessert yang kupimpin.
"Woi, Pak Bos udah datang juga tuh." Candra menggamit teman-temannya lalu mengambil barisan rapi paling kanan bersama ketiga teman lainnya. Mereka baru saja selesai membersihkan meja-meja yang ada di halaman restoran. "Pagi, Pak Bos!" Sapaan itu bergema keras menyambutnya.
"Mmmm. Pagi."
Dan Deg. Jantungku terasa dicengkram keras saat mata tajam penuh permusuhan itu menatapku sambil berjalan terus tanpa berhenti. Masih marahkah dia padaku atas kejadian kemarin malam? Karena aku memergoki dia pacaran di resto?
Tapikan itu bukan salahku. Jelas itu salahnya yang pacaran seenaknya di sembarang tempat.
Deg.
Pembicaraan antara Candra dan waiters memenuhi pikiranku. Bagaimana jika dia mendengarnya dan membuatnya berpikiran akulah yang bermulut ember-yang menceritakan kejadian kemarin?
"Wayo lu, Mbak Nad. Sepertinya sih Bos masih marah sama lu." Candra yang mulut ya nggak pernah di sekolahin menyemburkan kalimat seenaknya yang malah membuatku jadi kwatir.
Kucengkram tangan Candra keras dengan emosi. Hanya ada kami berdua di sini. Teman bergosip Candra telah pergi sedari tadi menunaikan tugas.
"Lah, Chef...aku kan cuma bergurau, masak gitu aja Chef marah sama aku." Candra memasang wajah memelas.
"Darimana kamu mengetahui hal itu..." Aku melirik ke kiri dan kanan.
"Hal apaan, Chef?"
"Pacaran teraman di bawah meja bar." Aku menjelaskan sesingkat mungkin sambil celingak-celinguk. Namun Candra malah tertawa ngakak. "Ini nggak lucu tau. Jawab saya atau..."
"Chef berniat pacaran gratis juga?" Aku membulatkan genggamanku siap membogemnya. Candra segera melipat tangan minta maaf. "Sorry...sorry.., Chef. Dony baru pacaran dengan Rania di sana dua hari yang lalu...tapi chef harus janji tidak memberitahukan hal itu pada mereka bisa mati saya dihajar Dony nanti..."
"Jadi bukan karena..." Aku menarik nafas lega. Giliran Candra yang melotot menatapku.
"Bukan apa, Chef."
"Berhenti kepo kalau kamu masih mau hidup." Aku baru tersenyum lega saat mataku menatap manik hitam itu lagi. Lah, bukannya tadi beliau sudah ke ruangannya kok balik kemari? Buat apa Pak Alex mondar-mandir begitu? Matanya menatapku tajam. Candra lebih dahulu kabur dariku.
Brengsek bangetkan tuh anak, batinku mengerang kesal padanya.
Berjingkat aku melintas di sisi Pak Alex dengan wajah menunduk agar tak melihat amarahnya. Pagi-pagi melihat wajah garangnya bisa sial aku sepanjang hari. "Pagi, Pak. Permisi."
"Berhenti kamu..."
Tangannya terangkat dan aku refleks melindungi kepalaku. "Candra bukan menggosipkan Anda, tapi Dony yang kepergok pacaran di bawah meja bar. Suer, saya nggak ngomong apa pun tentang kejadian kemarin malam." Aku berucap cepat dan mengangkat jariku.
"Saya pegang omongan kamu. Pergi sana kerjakan tugas kamu. Kamu telat saya hukum kamu." Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera kabur.
Aku nggak boleh telat. Yakin seribu lima ratus persen si Bos bakal buat masalah denganku, aku jelas harus mengkwatirkan diriku sendiri. Tapi waktu aku menoleh ke belakang, sial aku melihat dia tersenyum sepuas hati melihatku yang jadi bego.