Aku melangkahkan kakiku memasuki ruang manager resto. Ada sebuah nampan di tanganku berisi puding yang baru saja aku buat. Aku butuh pendapat Alex untuk menu-ku ini dan menu lainnya walau jika dipikir ini benar-benar merepotkan, seharusnya prosedur ini hanya untuk makanan baru yang akan dijadikan makanan tetap restoran bukan dessert tetap yang sudah masuk dalam daftar menu resto.
Namun aku melakukannya dengan bersemangat hanya untuk bisa menatapnya lebih dekat lagi, mencium aroma cologne yang dia gunakan atau dengan badan panas dingin akhirnya bisa bersentuhan dengan pria idamanku sedari sekolah menengah pertama itu.
"Boleh, ya, sayang." Langkah kakiku terhenti saat mataku menatap sosok wanita yang kini mencondongkan tubuh langsingnya ke tubuh Alexander Yudhistira yang tengah ada di kursi managerial-nya. Gadis itu mengalungkan lengannya di leher pria itu.
Kubayangkan akulah yang ada di posisinya. Dan mengalungkan lenganku di lehernya. Memandang lekat wajah tampan Alexander dengan jantung berdebaran. Mencium aroma parfum maskulin yang selalu dia gunakan. Damn. Aku memaki diriku sendiri. Membayangkannya saja membuatku menyadari kini wajahku memerah.
"Nadya?"
Aku tersadar dari pikiran melantur yang lari kemana-mana. Alex kini telah berdiri di depan pintu, memandangiku dan saat mata itu menatapku aku merasa panah dewa Cupid masih terarah padaku. Jantungku berdegup lebih kencang lagi, seperti sepuluh tahun yang lalu.
Semakin lama memandangnya aku akan semakin jatuh cinta, kupilih mengalihkan tatap. Membuang pandang, mataku menjelajah mencari kekasihnya, wanita itu telah duduk santai dengan kaki bersilang di sofa tamu sang manager. Gadis itu nampak anggun dengan gaun peach blossom berdada rendah yang dia kenakan plus dengan stiletto perak membungkus kaki jenjangnya yang indah. Tipe Alex banget.
Aku ingat seluruh pacar Alex adalah gadis feminim yang suka mengenakan rok dan gaun bukan seperti aku yang lebih sering menghabiskan waktu dengan pakaian seadanya: kaos oblong dan celana jeans yang bahkan lebih sering belel dan sepatu skets. Untuk sedikit terlihat feminim biasanya aku hanya menggunakan flatshoes. Seingatku, dalam sejarah hidupku aku belum pernah mengenakan stiletto apalagi stiletto dengan hak setinggi lima centi meter seperti yang kini dikenakan si cantik di depan sana.
Jika aku dibandingkan dengan si cantik di sana, aku mah apa atuh. Jari kaki si cantik saja rasanya lebih menarik dari penampilanku.
Melangkah ke dalam ruangan Alex, aku meletakkan menu yang baru saja kumasak di atas meja kerjanya. Menyentuh wajahku yang memerah, berharap Alex tidak menyadari hal itu.
"Red velvet cake." Gadis itu berseru sambil melompat menuju cake yang kuletakkan. Matanya berbinar. Tak perlu berpikir keras, siapa pun akan segera tahu betapa gadis itu pecinta red velvet. "Boleh untukku?" Alex mengangguk dengan senyum lebar, senyum yang tak pernah teruntuk buatku.
"Cukup beritahu aku bagaimana rasanya menurutmu, Sayang." Alex menambahkan saat gadisnya membawa red velvet cake itu ke meja sofa dan menyantapnya dengan antusias.
"Bagaimana?" tanya Alex kemudian setelah gadis itu menyelesaikan santapannya. Dia mendekat pada gadis itu tanpa tahu betapa cemburunya aku disini.
"Ini red velvet terenak yang pernah kumakan."
"Oya?" Alex yang menatap sisa red velvet di ujung bibir kekasihnya, menghapus lembut sisa itu dengan jari-jemarinya. Aku memandang kemesraan itu dengan keki. Lalu memutuskan tidak ingin berlama-lama lagi. Sebelum hatiku benar-benar patah, aku harus angkat kaki.
"Permisi, Pak-Bu."
Aku meraih kembali nampan di atas meja plus piring.
"Jangan panggil gue ibu. Gue bukan ibu lu. Gue nggak pernah nikah sama bapak lu."
"Ehh, iya. Mbak... boleh saya panggil Mbak kan?" Aku bertanya, takut salah lagi.