Kuingin Kau Tahu Aku Mencintaimu

Elisabet Erlias Purba
Chapter #6

#6. Tawaran Sang Dewi

Aku menguap panjang sebelum menarik selimut untuk menutupi tubuhku kembali. Pagi ini agak mendung. Aku kelelahan sepanjang hari kemarin untuk pekerjaan yang tiada habisnya dan kini rasanya ingin berlama-lama di atas tempat tidurku.

Lalu jam weker melolong panjang kembali mengusikku. Sudah jam 05.30 wibb. Setelah menggeliat beberapa waktu, aku memutuskan bangkit dari tidurku. Kumatikan bunyi weker yang masih terdengar lalu beranjak pergi ke kamar mandi setelah meraih handuk baru di dalam lemari pakaianku. Sesaat aku melirik ke kamar tidur Wina, sahabatku itu pasti masih terlelap. Aku selalu iri saat Wina dan Shasa bisa menikmati weekend mereka tanpa pekerjaan sementara seorang pekerja di restoran seperti aku lebih sering libur pada awal minggu karena weekend biasanya menjadi waktu penting menangguk pelanggan.

Guyuran air shower menyegarkan tubuhku kembali. Berjingkat aku kembali ke dalam kamar tidurku lalu meraih seragam kerjaku sehelai kemeja putih dengan celana hitam dan rompi hitam, ketika aku memasak nanti akan ditambah dengan celemek panjang berwarna hitam. Setelah itu kupoles wajahku dengan sapuan bedak natural di pipiku dan bibirku dengan lip balm, menyisir rambut lalu bergegas aku meninggalkan kamar tidurku dengan sebuah tas ransel mungil berisi sebuah dompet dan pakaian ganti.

Aku hanya sarapan sederhana pagi ini, sepotong makaroni skotel panggang yang tersisa di dalam kulkas-sisa sarapan pagi yang kubuat dua hari yang lalu untukku dan Wina.Setelah itu aku meletakkan memo di pintu kulkas buat Wina tentang jam kerjaku hari ini yang kemunginan besar berakhir lebih malam lagi. Restoran sedang penuh-penuhnya beberapa hari ini setelah Alex membuat acara baru berupa perfomance beberapa penyanyi.

Aku baru tiba di depan restoran dan melihat kerumunan para rekan kerjaku di resto.

"Ada apa?"

"Pak Alex baru saja mengusir dan memecat chef John karena Chef John ketahuan merusak tepung dan ternyata juga penyebab rusaknya desert yang dihidangkan kemarin." Aku mendengar pembicaraan mereka lalu bergegas melangkahkan kaki menuju ruangan Alex. Namun dia tak kudapati di sana.

Bergegas aku mencarinya ke seluruh areal resto, tapi dia tetap tak nampak. Dengan langkah gontai aku menuju ke dapur. Candra segera berlari menghampiriku seakan ada kabar bahagia yang ingin dia sampaikan.

"Chef Nadya, ternyata pelaku semua perusakan menu dessert adalah Chef John..." Dia memberitahu dengan antusias saat aku meraih celemek dari laci dapur dan memasangkan pada tubuhku .

"Sepertinya dia tidak layak mengemban nama Chef." Chef Arno menimpali, "orang yang bermain-main dengan bahan makanan tidak layak dipanggil dengan sebutan: 'chef'." Dia meletakkan sekarung tepung di meja pantry.

"Pak Alex menemukan buktinya ketika Pak John hendak merusak desert pagi kita kemarin malam."

"Sepertinya dia kesal karena chef Sam lebih memilihmu menjadi kepala dapur desert dari pada dirinya." Chef Arno menimpali. "Harus diakui ternyata Pak Alex bukan pemimpin yang buruk. Namun pagi ini kita harus mulai dengan pembuatan dessert baru untuk memastikan keamanan para pelanggan. Aku rasa kita tidak boleh mengambil resiko- dessert kemarin yang ada di lemari pendingin harus dikeluarkan dan tidak boleh dihidangan pada para pelanggan."

Aku mengangguk setuju pada pendapat chef Arno. "Aku akan ambil tepung beras di tempat penyimpanan." Aku beranjak cepat menuju ruang penyimpanan bahan makanan. Ruangan itu cukup lebar dengan rak-rak besi bersusun berisi bahan-bahan makanan yang tahan lama di bagian atas dan bagian bawah yang menjorok ke dalam tanah bahkan dengan air conditioner adalah tempat penyimpanan lainnya untuk minuman mahal sekelas wine dan shampage. Aku hanya masuk di tempat penyimpanan atas.

Kuraih sekarung tepung beras dan meletakkan tepung itu di atas pundakku lalu bergegas keluar gudang. Baru saja berjalan beberapa langkah aku dan Alex bersua. Dia yang tengah melintas menuju lantai dua- ruang kerjanya. Mata kami kembali bersua.

"Pak Alex." Aku tersenyum manis menatapnya. "Terima kasih untuk mencari tahu kebenaran ini." Aku tak merasa harus mencari waktu untuk berterima kasih, langsung mengucapkan rasa terima kasihku padanya.

Dia mengangguk singkat begitu cool, tapi hal itulah yang membuatku makin tergila-gila padanya. "Aku tidak akan membiarkan seorang yang curang bekerja di restoranku." Dia memberi alasan.

"Tapi darimana Anda tahu ada kecurangan?"

Dia menyentil keningku dengan jarinya. Aku mengusap-usap keningku saat dia kemudian menjelaskan kecerdasannya, "kemarin saya minta Candra membawa semua sisa dessert yang ingin kalian buang ke ruangan saya dan saya memakan semuanya. Ajaibnya hanya beberapa porsi dari dessert itu yang terkontaminasi yang lainnya sempurna seperti pertama kali saya makan. Lalu saya tinggal melihat cctv seharian."

Aku meraih tangannya dengan sebelah tanganku. Tersenyum selebar mungkin dengan ucapan terima kasih. "Terima kasih, Pak. Anda benar-benar pahlawan buat saya."

Kemudian matanya memendar menatap sekarung tepung beras dengan berat lima belas kilo gram di pundakku. "Kemana yang lain?"

"Siapa?" tanyaku tak paham, tapi bukannya menjawabku dia malah mengambil alih kantung beras di pundakku.

"Seharusnya kau menyuruh kru dapur pria yang mengangkat ini."

"Aku bisa sendiri. Aku sudah terbiasa melakukannya." Aku menolak bantuannya, tapi gagal karena dia jelas lebih kuat dariku. "Anda tidak seharusnya mengangkat ini, bagaimana pandangan yang lain jika melihat Anda melakukan hal ini." Aku mencercarnya saat dia melangkah menuju ke pantry dessert. Tubuhnya yang lebih tinggi mungkin sepuluh centi meter dari tubuhku membuatku tak bisa merebut karung tepung itu dari pundaknya.

Seperti yang kuduga, kehadirannya di lorong pantry dengan sekarung tepung beras segera membuat kru pantry memplototiku termasuk para chef main course di dapur chef Sam yang bersampingan dengan dapur desert. Kehadiran manager Alexander Yudhistira di dapur ini membuat chef Arno dan Candra yang sedang sibuk juga mengalihkan pandangan pada sosok tampan dan baik hati itu.

Tanpa kata dia berlalu setelah meletakkan karung tepung di bahunya pada meja pantry.

"Yeeileeh, Chef Nadya ternyata..." Candra meledekku dengan membenturkan dua ujung jari telunjuk seakan mengatakan bahwa aku dan Alex punya hubungan super dekat.

"Pelan-pelan dong kamu ngomong-nya, Cand, Alex..maksudku Pak Alex..masih diluar tuh...kal..."

"Alex nih yehhh." Candra menggodaku tanpa membiarkanku menyelesaikan penjelasannku. Aku melemparnya dengan wortel yang ada di atas meja, tapi dia sukses meraih wortel itu dan tetap menggodaku.

***

Alexander Yudhistira memilih duduk di salah satu meja di sisi jendela di tengah suasana resto yang nampak ramai siang ini. Dia terlihat disibuki oleh lembaran pekerjaannya. Dari kejauhan aku memandanginya saat melangkah membawakan dessert untuk kuhidangkan kepadanya.

"Selamat siang, Pak." Sapaku saat meletakkan dessert di atas mejanya. Dia sedang memegangi pundaknya lalu melirikku sebentar dan melanjutkan pekerjaannya tanpa sepatah kata pun. Diantara tanya batinku apakah beban karung tepung yang dia ambil dariku kini menyakiti pundaknya?

***

Suasana malam telah makin larut. Para karyawan resto termasuk kami karyawan dapur satu persatu telah pulang.

Lihat selengkapnya