Aku bergegas turun dari atas sepeda motorku. Resto nampak gelap, lampu-lampu resto sudah padam sedari tadi, hanya sebuah ruangan yang masih memperlihatkan cahaya. Ruang di sayap kanan resto tempat aku meninggalkan Alex tadi. Berlari aku menuju tempat itu. Baru saja memasuki ruangan itu, aku membentur sesuatu. Tubuhku terhuyung, hampir saja jatuh jika sebuah tangan tak menangkapku. Lalu kini aku merasakan sebuah lengan berotot berada di pinggulku.
Sejurus kemudian aku merasakan denyut jantungku berdetak makin kencang. Mataku terkunci dengan manik lembut pria itu dan aroma tubuh Alex.
"Nadya? Kenapa kau kembali lagi ke sini?"
"Anda baik-baik saja kan?"
"Tentu saja. Saya baik. Kenapa?" Aku melihat tatapan mata Alex yang penuh selidik padaku. Sesaat aku menimbang apakah yang kulakukan kini benar atau salah? Seharusnya kini aku memberitahunya tentang apa yang telah dilakukan kekasih tercintanya di belakangnya dan bukannya berkolusi untuk mendapatkan hatinya. Tatapan matanya yang kini menatapku dengan intens.
"Saya menyadari di tengah jalan pulang tadi bahwa saya membiarkan Anda terlelap sendirian di resto yang pintunya bahkan masih ada yang tidak terkunci, tiba-tiba di tengah jalan pulang, saya baru menyadari siapa saja bisa masuk ke restoran dan membahayakan Anda." Aku berdusta. Untuk yang pertama kali padanya, tapi jelas aku tahu bukan untuk yang terakhir kali.
Dia menatapku lekat. "Jadi kamu orang yang mematikan laptop saya?"
"Iya, saya. Tapi saya sudah menyimpan seluruh data yang ada."
"Terima kasih, ya." Alex menyentuh lengan tanganku. Hanya sentuhan biasa, tapi bahkan mampu membuat jantungku berlomba dengan waktu. "karena mencemaskan saya. Sekarang, ayo, pulang. Ini sudah terlalu larut buat seorang wanita untuk keluyuran sendirian." Dia menarik telapak tangannya dari lenganku dan melangkah. Aku mengekorinya dari belakang. Memandang punggung itu kembali.
Selalu begini, aku selalu berada di belakangnya, menanti dia menoleh dan menyadari keberadaanku.
Sesaat aku menunggunya mengunci pintu jati restoran. Dia melakukannya dengan cepat. "Tunggu saya di sini, saya ambil mobil dulu." Aku mengiyakan tanpa suara.
Saat menantinya sesekali kumainkan kakiku menyepak-nyepak debu kasat mata di depan pintu resto. Setelah menatap mobil Pajero sport putih yang muncul dari halaman belakang resto, aku melangkah menuju sepeda motorku. Baru akan menghidupkan matic ku ketika Alex memanggilku dari balik jendela kaca mobilnya yang terbuka.
"Naik. Saya antar kamu pulang. Kan saya sudah bilang ini sudah terlalu larut, tidak baik bagi seorang wanita untuk pulang sendirian." Aku menatapnya bengong. Memastikan apa dia kini sedang bercanda atau bukan. "Kunci ganda motor kamu, nanti satpam akan menjaganya."
Aku menurut. Sebentar kemudian setelah memasang kunci ganda, aku telah duduk dengan manis di sisi jok pengemudi. Mencuri lihat wajah itu diam-diam, satu keahlian yang telah kumiliki selama sepuluh tahun ini.
Alex menitipkan motor kesayanganku pada satpam jaga di posko depan resto saat mobilnya melintas dan para satpam memberi hormat padanya.
"Saya berniat membuat menu spesial harian di resto. Appertizer, main course dan dessert yang baru untuk menambah minat para pelanggan mengunjungi restoran. Bagaimana menurut kamu?" Alex membuka pembicaraan saat kami berada dalam kesunyian yang tercipta selepas dari area resto. Aku menatapnya. Mengagumi insting bisnisnya. "Saya ingin tahu pendapat kamu sebelum mengatakan ide ini kepada chef Sam."
"Kalau saya sih... saya tidak keberatan sama sekali. Saya rasa itu ide yang sangat bagus, Pak. Kita bisa menulis menu harian di sebuah papan tulis yang bisa dihapus dan diletakkan di arel outdoor hingga setiap tamu yang datang bisa segera melihatnya. Kru dapur akan menggantinya setiap hari." Aku menyambut idenya dengan antusias sambil berdebaran, saat mengingat perjanjian yang kulakukan bersama Tere.
Andai kisah cintaku tidak serumit ini.
"Apalagi kalau menu spesial kita ini tidak terbatas hanya pada menu western walaupun restoran kita bergerak di bidang makanan western." Aku memberi advis dan membuat Alex tersenyum menatapku.
"Saya setuju dengan kamu. Di menu spesial ini seluruh chef bisa mengeksplor kemampuan memasak masakan lain seperti masakan tradisional Indonesia ataupun masakan Asia: Korea, Jepang, Thailand, dll." Mata kami bersua kembali. " Ide kamu luar biasa. Terima kasih untuk dukungan kamu."
"Saya hanya memberi pendapat sebenarnya ide Anda lah yang luar biasa, Manager."
Kami saling melempar senyum singkat lalu membisu kembali. Aku mencoba memeras otak mencari bahan pembicaraan baru agar kebisuan ini tak terlalu lama menjebak kami dalam kekakuan.
Apa kabarmu? Kau terlihat baik dan luar biasa sejak aku tak melihatmu lagi.
Berapa banyak wanita yang telah berkencan denganmu sejak aku tak melihatmu lagi?
Pernahkah sekali saja dalam hidupmu kau merindukanku?
Bagaimana dengan hatimu? Apakah masih sebahagia ini, jika kukatakan bahwa kekasihmu yang tercinta Tere Mariska menyelingkuhimu? Dan wanita yang duduk di sisimu ini berusaha meraih cintamu dengan cara yang bahkan tidak dapat dikatakan terhormat?
Jika memikirkan begitu banyak wanita yang pasti telah berkencan denganmu...mungkin kau tidak akan terlalu terluka akibat berita ini. Namun tetap saja aku mengkwatirkan keadaanmu.
Kalimat-kalimat itu berpendaran di otakku. Namun terkunci di bibirku.
"Jangan memandangku seperti itu. Aku bisa berpikir bahwa kau benar-benar menyukaiku." Suara itu membuatku tersentak. Terbatuk-batuk sesaat sambil membuang pandang ke luar jendela, ke jalanan kota.
Wajahku merah padam.Lalu telingaku mendengar tawa kecil dari bibir managerku itu. Memang hanya sesaat, tapi itu menambah semburat merah jambu di wajahku.
Aku menatapnya. Wajahnya terlihat lebih dari puas melihat rona merah di wajahku.
Ahhh, apa ini kesempatan bagiku untuk membuat dia mengetahui apa yang kurasakan padanya? Jika aku mengatakannya saat ini, apa semua akan menjadi baik-baik saja? Aku tidak mau hal itu malah membuatku berjarak lebih jauh lagi dengannya. Kami baru mencapai awal pendekatan..., tapi jika aku tak mengatakannya sekarang....Aku juga tidak tahu apakah Tuhan memberiku kesempatan lain untuk mengatakan perasaanku padanya?
"Jika aku bilang aku menyukai Anda, apakah Anda mengizinkanku masuk ke dalam hati Anda?" Aku mengambil satu langkah berani dalam hidupku. Dia berhenti tertawa. Kini bahkan lebih terlihat shock akibat ucapanku.
"Maaf, tapi aku sudah punya kekasih."