"Uhhh, akhirnya selesai juga." Desahku pelan usai menyelesaikan pembersihan dapur. Malam ini giliranku membersihkan dapur, jangan pikir karena aku ketua tim desert, aku aman dari beban tugas ini.
Kulangkahkan kakiku menuju loker karyawan, meraih tas ransel mungilku, seharusnya aku bergegas mengganti pakaian di kamar mandi. Namun kali ini tak kulakukan. Aku ingin secepatnya pulang.
Saat mengambil motorku di parkiran depan, sesaat aku menatap lantai atas gedung resto. Ruang kerja Alex nampak gelap, jelas kutahu dia telah pergi sedari tadi untuk mengejar cinta Tere. Restoran selesai agak cepat hari ini, pukul sembilan malam dan aku yakin Alex berpikir masih ada kesempatan untuknya dan Tere menonton sebuah film setelah melewatkan hal itu kemarin malam.
Ahh, andai Alex tahu dia tidak perlu merasa bersalah sama sekali karena Tere bahkan tidak menantikannya sama sekali kemarin malam. Saat menaiki sepeda motorku, aku mulai berpikir bagaimana perasaan Alex jika mengetahui hal itu. Yang pasti dia bakal terluka. Cinta memang nggak adil bukan? Sia-sia sekolah tinggi-tinggi dari TK, SD, sampai S2 kalau akhirnya cinta membuat lu jadi bego sebego begonya, buta sebuta-butanya. Betul nggak sih?
Aku bukan menghina dirinya, aku menghina diriku sendiri.
Aku melaju kencang menuju apartemenku. Kali ini aku ingin menenggelamkan diri dalam kasurku.
***
"Lu nggak diantar malam ini?" Suara kepo Wina terdengar menyapaku saat pertama kali aku memasuki unit apartemen tempat tinggal kami.
Wina sedang sibuk membuat sirloin steak dari buku menu. "Bantuin gue dong," pintanya saat aku melintas begitu saja tanpa sepatah kata. "Gue mau buat seseorang tercengang."
Aku meliriknya seakan berkata: siapa?
"Dinan." Dia menyebut sebuah nama seakan aku kenal saja semua orang yang dia kenal. Aku melangkah memasuki kamar mandi, mandi.
"Nadya! Lu kok mandi sih?! Guekan minta tolong sama lu!"
"Buku menu udah ngajarin lu kok. Lu ikutin aja step stepnya." Aku berteriak menyambutnya dari dalam kamar mandi. Kubiarkan deras air shower membasahi sekujur tubuhku.
Apa yang dilakukan Alex kini?
Apa dia sedang bersama Tere?
Apa dia baik-baik saja?
Aku harap gadis itu tidak akan mematahkan hatinya.
Air mandi yang mengguyur tubuhku tak juga mampu menghapus segala tanya di dalam sanubariku.
***
"Nad, lu baik-baik saja?" Aku memilih pura-pura tertidur. Membiarkan Wina mencemaskanku. Lagi pula ini sudah pukul dua belas malam, memang waktunya untuk tidur. Mungkin karena lelah menanyaiku akhirnya Wina juga tertidur.
Aku membalikkan badan dan melirik wajah cantik Wina tepat ketika ponselku bergetar. Kulirik nomor tanpa nama yang muncul di layar ponselku. Ini terlalu malam untuk meladeni orang resek yang tak tahu diri.
Kurejeck panggilan itu. Sekali lagi nomor itu memanggil. Oke, aku mau tahu orang macam apa yang menelponku malam-malam begini.
"Malam. Siapa ini?"
"Dia. Aku ada di depan apartemenmu." Hanya kalimat singkat itu yang diucapkan Alex, tapi aku sontak melompat bangkit dari posisi berbaringku. "Turunlah."
Kukuak pintu balkon kamarku, menatap ke bawah sana dan melihat Alex berdiri di sana. Tepat di sisi mobil sedan hitamnya yang atapnya bahkan bisa terbuka.
Dear, God, apa yang sudah terjadi padanya?
"Tunggu aku. Aku turun." Kututup ponselku lalu berlari keluar dari dalam unit apartemenku. Memasuki lift yang kali ini terasa bergerak lebih lambat dari biasanya. Ketika pintu lift membuka, aku bahkan tidak membiarkan sedetik pun waktu terbuang percuma. Aku berlari kencang menuju padanya. Menubruknya. Memeluknya. "Kau kenapa?"
"Temani aku malam ini."