Aku melambaikan tanganku pada Alex saat mengantarku kembali ke apartemenku. Hari sudah pagi saat kami tiba di apartemenku.
"Apa mau kujemput agar kita ke resto bersama?" Alex menyembulkan wajahnya dari balik jendela mobilnya yang terbuka. Aku menggeleng cepat.
"Kau baru saja bercerita kalau jarak resto dan rumahmu cukup dekat, akan jadi lebih terlambat lagi jika kau menjemputku."
"Jangan khwatirkan hal itu. Apa kau lupa akulah bosnya di sini?" Aku mencebikkan bibirku atas jawaban Alex dan disambut tawa dari bibirnya. Bibir yang kemarin malam menciumku begitu lama seakan aku adalah cinta sejati yang lama dia tunggu.
"Aku akan berangkat sendiri ke restoran..Sampai bertemu di sana." Aku melambaikan tanganku. Namun dia tidak kunjung pergi.
"Pergilah lebih dahulu ke atas. Lalu aku akan pergi." Aku mengangguk. Tak memutar tubuhku, tapi berjalan mundur menuju pintu gedung apartemen tempat tinggalku. Sambil melambaikan tangan padanya.
"Nadya, lu dimana aja sih?!" pekikan keras itu terdengar dari kejauhan tepat ketika netraku menemukan sosok tubuh mungil yang berlari ke arahku. Siapa lagi kalau bukan sahabatku yang bawel: Wina Angelina. Melintasi mobil yang dikendarai Alex, Wina melongok ke dalam mobil dan aku jelas bisa melihat kekagetan di wajahnya.
"Itu Alexander Yudhistira?" Dia bertanya saat telah berada di sisiku. Aku hanya menjawabnya dengan gumaman singkat sambil menggerakkan tangan agar Alex lebih dahulu pergi dan kali ini dia menurut. Mungkin karena melihat aku sudah tak sendirian lagi. "Gimana bisa lu ketemu di...a?? Lu bilang lu sama gue-lu nggak stalking dia di medsos." Aku melangkah mendahului Wina yang mengekor di belakangku. "Jangan bilang lu bohong sama gue."
"Gue nggak bohong. Kak Alex bos gue di restoran. Kak Alex ternyata putra Pak Yudistira."
"Jadi maksud lu yang ngantar lu kemarin...???" Aku mentapnya santai sambil menyandarkan diri di dinding lift. "Jadi cowok yang lu ceritain sama kita kemarin malam itu... Alexander Yudhistira?! Mantan kakak sekolah kita?!" Aku hanya membalasnya dengan nyengiranku.
"Gue nggak mau lu sakit hati lagi sama dia."
"Dia udah putus kemarin malam sama pacarnya kalau itu yang lu cemasin."
"Maksud gue bukan itu, Nad, ta..pi..." Aku keluar dari lift tepat saat pintu lift membuka. Bergegas aku memasuki unit apartemen kami lalu mengambil pakaian ganti. Aku harus bergegas ke restoran sebelum terlambat.
***
Kak Alex berdiri di hadapanku saat aku tengah mengambil waktu rehat sejenak untuk makan siang. Tangannya menjulurkan sebuah amplop buatku. Kutatap amplop putih bersih itu lalu dengan gerak dagunya dia memintaku mengambil amplop itu dan dengan patuh aku menurut. "Buka." Kembali seperti bocah kecil yang patuh pada perintah orang tuanya, aku menurutinya tanpa bantahan. Dua tiket bioskop dengan film teromantis bulan ini. "Ayo, kencan nanti malam."
"Apa?" Aku kaget mendengar pernyataannya.
"Aku jemput kamu jam tujuh malam oke?" Kak Alex berlalu cepat sebelum anak-anak dapur datang untuk rehat makan siang. Sesaat ria masih melirik ke belakang punggungnya untuk menatapku. Aku mengangguk dengan senyuman termanis yang bisa kupersembahkan.
Kak Alex mengajakku kencan. Ini bukan mimpikan?
"Candra, cubit saya," pintaku pada Candra yang muncul dengan sepiring nasi di tangannya. Dia menatapku bingung, tapi tanpa tanya langsung mencibirku hingga aku bahkan menjerit kesakitan.
"Kalau pelan-pelan itu bukan cubitan, tapi ciuman, Chef." Aku memonyongkan mulutku dengan senyum yang tak lepas merekah dari bibirku. "Ada apa sih, Chef. Kalau bahagia itu dibagi biar dapat pahala."
Aku memelet mulutku. "Mau tau aja." Aku berlalu dari hadapannya. " Every body! Chef Nadya jatuh cinta!' Si resek Candra berteriak keras membuat seluruh mata pengunjung resto dan para karyawan resto menoleh padanya. Aku buru-buru berlari menuju ke arahnya membekap mulut lemesnya.
***
When I am falling in love it will be forever. Aku mendengarkan musik itu berkali kali hari ini sambil memilih gaun mana yang akan aku gunakan untuk kencan pertamaku dengan Kak Alex.
Pilhanku jatuh pada sebuah gaun sederhana sedikit di atas lutut yang kupadukan dengan sepatu skets. Penampilanku sempurna sudah. Aku harap Kak Alex akan benar-benar jatuh cinta padaku. Aku tahu dia belum sepenuhnya bisa melupakan Kak Tere, tapi aku akan menunggunya melupakan mantan. Aku yakin bisa, itu tidak akan lebih sulit dari penantianku selama sepuluh tahun ini untuk menemukannya.
Kulirik arlojiku, jus di gelasku sudah habis dua gelas. Aku sudah mondar-mandir di gerbang depan apartemen berkali-kali. Namun batang hidung Kak Alex bahkan tak juga terlihat. Jam tujuh sudah lewat satu jam yang lalu ketika telponku berdering. Dari Kak Alex.
"Sorry, Nad. Jadi telat jemput kamu. Aku rasa bakal makin telat kalau aku ke tempat kamu lagi, lebih baik kamu langsung ke twenty one. Kita jumpa di depan mall oke?"
"Oke deh, Kak."
"Kamu nggak apa-apa kan?"
"Nggak kok, Kak. Biasa aja."
"Sampai jumpa di sana. Tunggu gue di sana. Gue bakal datang."
Tut. Sambungan itu terputus dan aku buru-buru memesan taksi daring. Tapi berhubung malam Minggu taksi daring jadi lelet. Tak satu pun pengemudi masuk untuk memenuhi panggilanku. Aku baru saja memanggil ojek konvensional yang melintasi depan gerbang apartemen ketika sebuah mobil merah berhenti di depanku.
"Mau kemana lu, Nad?" tanya Wina yang telah kembali dari pekerjaannya. Dia melongok dari jendela mobilnya yang terbuka. "Rapi amat lu di malam mingguan. Nggak biasanya."
"Mau kencan lah."
"Kencan? Serius lu." Wajah Wina berubah serius menatapku. "Jangan bilang dengan Kak Alex." Aku bahkan belum menjawab ketika rentetan ucapan Wina memberondongku bagai peluru. "Dia bukan cowok yang baik, Nad. Gue nggak akan rela kalau lu kenapa-kenapa lagi karena dia."
"Gue nggak akan kenapa-kenapa, Win. Gue janji." Aku menaiki gojek konvensionalku lalu melambaikan tangan pada Wina. "Jangan tunggu gue kayaknya gue bakal pulang malam banget."
"Nadya! Lu nggak boleh pergi!"
Aku masih bisa mendengar teriakan keras Wina padaku. Kini saat menanti Kak Alex di depan mall karena ponselku mati dan aku takut dia tidak akan menemukanku jika aku berkeliaran di dalam mall, lalu hujan lebat turun dan dia tak kunjung datang- aku mulai berpikir bahwa Wina mungkin benar. Seharusnya aku tidak pergi saja malam ini.
***
"Kak Alex!" Aku mengejar sosok dengan payung hitam itu yang masuk ke mall dalam kerumunan orang-orang. Kutarik tubuh itu hingga berbalik lalu kusadari aku salah. Kehujanan dan kedinginan mungkin membuat otakku mulai berhalusinasi bahwa Alex dan Wina kini tengah menatapku, mengamatiku.