“Kenapa lagi dengan dosen itu? Kayaknya selalu ada saja berita tentang dosen itu.” Adiwilaga yang biasa dipanggil Adi sebenarnya adalah nama yang cukup sering didengar Sena, terutama dari kalangan mahasiswi dan staf kampus seperti Sena. Dan semua mahasiswi dan staf kampus itu selalu memberikan pujian yang sama kepada Adi: tampan, ganteng, keren dan hal semacam itu.
Sebenarnya seganteng apa dosen itu sampai-sampai selalu saja jadi pujaan banyak wanita di sini? Jauh di dalam hatinya, Sena merasa sedikit penasaran tentang Adi dan rupanya. Tapi mengingat beberapa cerita Adi yang selalu nolak pernyataan cinta padanya dengan sedikit ‘jahat’, Sena membuang jauh-jauh rasa penasarannya. Bahkan … Sena terkadang melihat perasaan yang ditujukan kepada Adi lebih mirip obsesi ketimbang cinta.
“Ada yang bilang suka sama Pak Adi lagi, Mbak.”
“Bukannya udah biasa? Kan dosenmu itu udah biasa nerima pernyataan cinta dan dosenmu selalu nolak mereka.”
“Emang sih, Mbak. Tapi kali ini beda, Mbak.”
“Apanya yang beda? Bukannya sama aja?” Sena mengerutkan keningnya tidak mengerti.
Rani mendekat pada Sena dan bicara dengan nada sedikit lebih rendah dari tadi. “Yang bilang suka sama Pak Adi itu Mira, Mbak!”
“HAH?? Mira??” Sena terkejut mendengar nama itu karena nama itu adalah nama salah satu pengunjung tetapnya di perpustakaan di mana dirinya bekerja. “Mira yang jurusannya sama kayak kamu?
“He eh, Mbak. Mira anak psikologi, satu jurusan sama aku dan anak yang sering ngobrol sama Mbak di perpus ini!” Rani menganggukkan kepalanya membenarkan dugaan Sena. “Nggak nyangka kan, Mbak?? Mira yang kelihatan diam gitu, dengan berani bilang suka dan ngajak pacaran Pak Adi di depan banyak mahasiwa lain.”
Sekarang ganti Sena yang menganggukkan kepalanya pelan, masih dengan sedikit tidak percaya. “He eh. Beneran enggak nyangka. Kapan loh bilangnya?”
“Tadi, Mbak. Tadi siang. Heboh banget loh, Mbak.” Kali ini yang menjawab adalah salah satu teman Rani. Raut wajah teman Rani, tidak kalah semangat dengan Rani.
Hanya dengan melihat ekespreis wajah Rani dan teman-temannya, Sena tahu bahwa apa yang Mira lakukan sudah membuat kegemparan besar di kampus. “Seheboh apa?”
*
“Heboh banget, Mbak. Gimana enggak heboh, Mbak. Mira ngomongnya pas di lobi gedung jurusan psikolog. Kebetulan ada banyak kelas yang bubar jadi lobi lagi rame. Tapi yang lebih heboh adalah jawaban Pak Adi buat Mira, Mbak.”
Sena sedang berjalan dari perpustakaan kampus menuju ke area parkiran. Dan untuk menuju ke parkiran, Sena dengan sengaja memilih jalan memutar, lewat gedung jurusan psikolog. Sena sedikit khawatir dengan Mira mengingat Mira hari ini tidak datang ke perpustakaan dan ditambah lagi kejadian tadi yang berhubungan dengan Dosen Adi yang memang sudah terkenal sebagai dosen tampan yang digilai banyak wanita di kampus ini.
Kamu enggak papa kan, Mira? Sena yang merasa khawatir berharap dapat melihat sekilas Mira dan memastikan keadaan gadis muda itu dalam keadaan baik-baik saja. Berharap bertemu dengan Mira meski hanya sekilas saja, Sena kembali teringat dengan cerita Rani tadi di perpustakaan.
“Dosen Adi, emang bilang apa?”
“Pak Adi bilang gini, Mbak. Dengeri, Mbak! Aku tirukan! ‘Mbak ada di kelas saya, tapi sayangnya saya enggak ingat nama Mbak sama sekali. Mbak tahu sendiri kan kelas saya selalu penuh dengan mahasiswa. Jujur saja, saya enggat ingat satu persatu nama mahasiswa di kelas saya. Dan ada banyak alasan kenapa saya enggak bisa jadi pacar Mbak, tapi saya akan beritahu dua alasan utamanya. Alasan pertama, saya enggak punya niat untuk pacaran dengan mahasiswa dan ini akan berlaku seterusnya. Lalu alasan kedua, saya enggak mungkin pacaran dengan seseorang yang namanya enggak pernah membekas di dalam benak saya.’ Gitu, Mbak. Kesannya jawaban Pak Adi jahat banget kan, Mbak? Tapi emang Pak Adi enggak pernah ingat nama mnahasiswanya setahuku.”