Yogyakarta, 27 Mei 2006.
Kreett!! Brrrrtt!!
Adi kembali pada kenangan di hari itu. Adi masih ingat sekali waktu itu matahari masih belum bersinar terang. Adi bisa melihatnya berkasnya dari celah gorden di kamar penginapannya.
Pagi itu … harusnya jadi pagi yang menyenangkan bagi Adi. Ayah Adi kebetulan belum lama menikah dengan Bunda-sebutan dari ibu tiri Adi dan berniat untuk mengenalkan Adi pada keluarga ibu tirinya yang ada di Yogyakarta. Tapi kejutan kecil yang akan dibuat itu gagal ketika sebuah getaran mendadak terasa.
Apa ini? Rasanya kayak- Adi yang masih setengah sadar, merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi Adi mengabaikannya karena masih mengantuk.
Sayangnya pilihan Adi mengabaikan gangguan itu adalah sebuah kesalahan. Hanya dalam hitungan detik, getaran itu berubah menjadi getaran yang sangat kencang diikuti dengan suara retakan bangunan sebelum akhirnya bangunan di mana Adi menginap bersama dengan Ayah dan Bunda, runtuh menimpa Adi.
“Ayahhh!” Menyadari bahaya yang akan menimpanya, spontan Adi berteriak memanggil ayahnya yang masih tertidur.
Bruakkkk!!! Bukkk!
Kejadian itu terjadi hanya dalam waktu singkat, tapi begitu Adi membuka matanya, Adi melihat wajah ayahnya yang pucat. Adi melihat ayahnya berada di atasnya, memeluknya dengan erat dengan tujuan melindungi Adi.
“Yah, Ayah!” Tanpa dijelaskan, Adi tahu situasi saat ini adalah situasi genting. Adi berulang kali memanggil ayahnya, tapi panggilan itu tidak dijawab oleh ayahnya. “Yah, Ayah! Jawab Adi, Ayah! Ayah jangan diam saja, Yah!!!”
Saat itu … Adi hanya anak berumur 13 tahun. Umur di mana Adi baru saja menginjakkan kakinya menuju masa remaja dengan segala keterbatasan seorang anak remaja. Tapi pemandangan di mana ayahnya terlihat pucat dan tidak menjawab panggilannya, bukanlah pemandangan asing bagi Adi.
“Tolong! Tolong!!! Tolong selamatkan Ayahku!” Menyadari apa yang mungkin terjadi pada ayahnya, spontan Adi berteriak berusaha meminta pertolongan.
“A-Adi! Sayang!”
Tidak lama setelah berteriak meminta tolong, samar-samar Adi mendengar suara bundanya yang berteriak memanggil namanya.
“Bunda! Bunda! Di sini! Tolong Ayah, Bunda! Ayah sama sekali enggak jawab panggilan Adi, Bunda!”
“Tunggu sebentar, Adi! Bunda akan berusaha ngeluarin kamu sama Ayah!”
Bunda-ibu tiri Adi sepertinya sedikit lebih beruntung. Bunda Adi punya insomnia dan sering sekali gangguan itu mengganggu jam tidur ibu tiri Adi. Mungkin berkat insomnianya itu, ibu tiri Adi keluar dari kamar di pagi buta dan berjalan-jalan menghirup udara pagi. Dan ketika gempa terjadi, ibu tiri berada di luar ruangan dan selamat.
Brrrt!
Awalnya ibu tiri Adi berusaha membantu untuk mengeluarkan Adi dan ayahnya. Tapi getaran itu terasa lagi dan bukan hanya satu kali saja.
Kreet, kreet!
Bruk, bruakk!!
Berkat getaran itu, reruntuhan penginapan yang menimpa Adi dan ayahnya semakin bertambah saja. Adi yang tadinya masih bisa sedikit bergerak, sekarang tak bisa bergerak sama sekali karena tubuhnya terjebak reruntuhan gempa.
“Uh!”
Itu adalah suara lenguhan lemah ayah Adi. Mendengar suara itu, Adi tahu ayahnya mungkin tidak akan punya banyak waktu lagi. Dan pemandangan yang sama seperti kepergian ibu kandung Adi, sebentar lagi mungkin akan terulang lagi.
“Bunda, tolong! Tolong Adi, tolong Ayah! Cepat, Bunda! Kalo enggak, Ayah mungkin-”