Kukejar Kau dengan Restu Langit

mahes.varaa
Chapter #7

BAB 7

Hari berikutnya.

28 Mei 2006.

 

Begitu Adi membuka matanya keesokan harinya, Adi menemukan seorang gadis yang duduk di samping ranjangnya dan masih menggenggam tangannya dengan erat. Rasa hangat dari genggaman tangan itu, membuat Adi mengingat bagaimana seseorang menggenggam tangannya dan menyelamatkannya di bawah reruntuhan. Tanpa perlu bertanya, Adi tahu gadis itu adalah penyelamat dirinya.

“Kamu sudah bangun, Dik?” Gadis yang tadi sibu berbincang dengan temannya, menoleh ke arah Adi dan menemukan Adi telah membuka matanya.

“Sudah. Ma-makasih sudah nolong aku.” Adi langsung mengucapkan rasa terima kasihnya kepada gadis itu karena berkat gadis itu, Adi bisa menepati janji terakhirnya dengan ayahnya.

“Sama-sama.” Gadis itu memasang senyumnya sekilas sebelum akhirnya, memasang waah sedih. ”Tapi maaf, ayahmu enggak selamat.”

Adi menundukkan kepalanya sejenak mengingat bagaimana percakapan kecil terakhirnya dengan ayahnya sebelum memasang senyum tipis yang sedikit dipaksakan, “Aku tahu kalo Ayah sudah enggak ada. Ayah sempat berpamitan sebelum pergi.”

“Begitu rupanya. Aku turut berduka cita.”

“ … “ Adi diam melihat tangannya yang masih merasakan rasa hangat dari genggaman tangan gadis di sampingnya. Adi mengepalkan tangannya ketika teringat bagaimana ayahnya yang kehilangan nyawanya tak lagi terasa hangat seperti saat hidup. Jadi saat mati, aku pasti enggak akan lagi merasakan rasa hangat ini.

“Kita bahas yang lain.” Gadis itu memasang senyumnya, sembari melepaskan genggaman tangannya di tangan Adi. “Kamu cuma dengan ayahmu saja?”

“I-itu-“ Sekali lagi, Adi memasang wajah sedihnya mengingat kenangan buruknya tentang ibu tirinya yang memilih pergi meninggalkan Adi dan ayahnya. “Se-sebenarnya aku datang ke sini bareng Ayah sama Bunda.”

“Trus, Bundamu ke mana? Aku sama orang-orang yang nolong kamu cuma nemuin kamu sama ayahmu. Dan kebanyakan korban di sana adalah pria. Meski ada wanita sekalipun, mereka tergolong adalah wanita berumur mendekati 40 tahunan.” Gadis bertanya pada Adi sembari mengingat penyelamatan Adi kemarin.

“Bunda-“

“Ehm?”

“Bunda pergi.” Adi tadinya enggan memberikan jawaban tapi melihat gadis penyelamatnya menunggu jawabannya, Adi tak punya pilihan lain selain menjawabnya.

“Pergi?” Gadis itu mengerutkan keningnya, memperhatikan wajah Adi sejenak sebelum akhirnya mengubah raut wajahnya. Gadis itu kembali menggenggam tangan Adi yang tadi sudah dilepaskannya. “Kata Ibuku, ada beberapa keadaan di mana kita bisa melihat sifat asli dari manusia. Satu keadaan itu adalah keadaan di mana hidup dan mati kita dipertaruhkan.”

Tes, tes! Air mata Adi jatuh lagi ketika mendengar ucapan gadis itu karena bersamaan dengan itu, ingatan Adi tentang bagaimana dirinya ditinggalkan oleh Ibu tirinya muncul lagi dalam benaknya.

“Bun-bunda lari! Bunda ninggalin aku dan Ayahku! Kalo saja Bunda enggak lari, Ayah mungkin masih hidup sekarang!”

Adi menangis kencang selama beberapa saat dan gadis itu hanya duduk diam di samping Adi menggenggam erat tangan Adi. Tangannya yang lain sesekali digunakan gadis itu untuk menepuk bahu Adi, memberi semangat pada Adi.

“Manusia kadang memang gitu. Ada kalanya mereka terlihat baik, tapi apa yang ada di dalam hatinya, kita enggak akan pernah tahu. Kita tak akan pernah tahu sampai suatu waktu tertentu contohnya ketika kita berada di antara hidup dan mati.”

 

Keesokan harinya.

29 Mei 2006.

Lihat selengkapnya