Alasan apa yang bisa aku pakai untuk bicara dengan Sena?
Demi membayar hutangnya pada Sena, Adi terus memikirkan alasan agar bisa bicara dengan Sena. Sayangnya … sudah 1001 alasan yang Adi pikirkan, tak satupun alasan yang dirasanya masuk akal untuk bicara dengan Sena. Alasan utamanya Adi yang sekarang tidak bisa dikatakan kenal dengan Sena. Kalau bukan karena masalah Mira kemarin, Adi tidak akan tahu Sena adalah gadis penyelamatnya. Alasan kedua adalah tidak seperti dirinya, Sena belum tentu mengenali Adi atau bahkan mengingat dirinya.
Jadi … sejak bangun dari mimpinya yang aneh pagi ini, Adi terus memikirkan alasan yang tepat untuk bicara dengan Sena bahkan ketika sedang mengajar.
“Pak Adi!”
“Ehm? Ya?” Adi tersentak kaget ketika salah satu mahasiswanya mengacungkan tangannya dan memanggil Adi. “Ada yang ingin ditanyakan?”
“Bukan, Pak. Kami cuma cemas, Bapak enggak kelihatan kayak biasanya. Apa Bapak enggak papa?” Mahasiswa laki-laki itu bertanya dengan memasang wajah sedikit cemas.
Adi menatap mahasiswa itu, kemudian menatap bergantian semua mahasiswa di kelasnya. Wajah mereka semua, kelihatan cemas. Apa karena aku? Hanya dalam satu kali lihat, Adi tahu jika semua mahasiswanya sedang memandangnya dengan raut wajah yang sama: cemas.
Makasih sudah cemas karena aku. Tapi apa yang kalian cemaskan, dengan apa yang aku cemaskan sepertinya adalah sesuatu yang berbeda. Adi memasang senyum tipisnya berusaha agar tetap terlihat seperti biasanya. “Bapak enggak papa kok. Tenang saja.”
“Pak.” Mahasiswa yang lain mengangkat tangannya dan meminta ijin bicara pada Adi.
“Silakan yang di sana.”
“Apa ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin, Pak?” tanya mahasiswa itu.
Sudah kuduga. Sayangnya kalian salah. Masalah kemarin memang buat aku kepikiran. Tapi masalah itu sudah selesai. Sekarang ada masalah lain yang sedang aku cemaskan dan aku enggak bisa bilang soal itu. Adi memasang senyum di wajahnya dan kali ini berusaha terlihat senatural mungkin dari sebelumnya. “Masalah kemarin, Bapak enggak papa kok. Bapak sedikit terkejut, tapi Bapak enggak papa.”
Mahasiswa lain mengangkat tangannya dan langsung bicara tanpa Adi mempersilakan. “Bapak pasti tertekan karena masalah kemarin kan? Saya tahu Bapak sangat populer dan terkenal, tapi … untuk masalah kemarin saya rasa, Mira sudah keterlaluan, Pak. Mira itu anak jurusan psikologi, tapi dia sama sekali enggak bisa bedakan mana rasa suka dan mana yang namanya obsesi. Tindakan Mira kemarin sudah bukan disebut rasa suka lagi, Pak.”
Huft! Apa yang aku sempat cemaskan akhirnya benar-benar terjadi. Adi menghela napasnya mendengar bagaimana mahasiswanya menilai kejadian kemarin. Adi menatap semua mahasiswa di kelasnya pagi ini dan merasakan tatapan mahasiswanya yang sedang menghakimi Mira mengenai kejadian kemarin.
“Kalian ini semua masih mahasiswa. Berbuat salah, masih jadi hal wajar yang bisa kalian lakukan. Bahkan orang dewasa seperti Bapak pun enggak luput dari yang namanya kesalahan. Perasaan kadang emang enggak bisa dikendalikan terutama ketika dalam hati seseorang memiliki masalah yang mengganjal dan tersimpan untuk waktu yang lama.”
“Jadi … apa kita harus memaklumi perbuatannya pada Bapak?” Mahasiswa lain mengangkat tangannya dan menyela penjelasan Adi.
“Yang benar bukan memaklumi tapi memberi pengertian bahwa apa yang mereka rasakan itu namanya bukan suka dan cinta, melainkan obsesi. Perasaan seperti itu … hanya akan menyakiti banyak pihak terutama dirinya sendiri.” Adi berusaha memberikan penjelasan pada mahasiswa di kelasnya dan kejadian kemarin akan jadi pelajaran yang berharga bagi mahasiswanya. “Jangan pernah menyalahkan mereka karena mereka sendiri terkadang tidak bisa memahami dan membedakan apa yang mereka rasakan. Sebagai mahasiswa dan kelak akan jadi psikolog di masa depan, sudah jadi tugas kalian untuk bisa memberikan pengertian pada mereka. Kejadian kemarin bisa jadi contoh yang bagus buat pelajaran kalian sebagai mahasiswa jurusan psikologi. Bapak ingatkan sebagai psikolog, jangan menghakimi mereka dengan cara seperti itu!”
“Trus … gimana cara Bapak kemarin berhasil membujuk Mira turun, Pak?” Setelah mendapatkan pengertian dari Adi, mahasiswa lainnya mengacungkan tangannya dan penasaran bagaimana Adi kemarin berhasil membujuk Mira untuk menghentikan niatnya bunuh diri.
“Kalo soal itu … “ Adi tersenyum kecil sembari menceritakan apa yang terjadi termasuk bagaimana beraninya pegawai perpustakaan bernama Sena melawan rasa takutnya terhadap ketinggian untuk membujuk Mira.
Sembilan puluh menit jam kuliah Adi berakhir. Separuh dari jam kuliahnya, digunakan Adi untuk menceritakan dan membahas apa yang terjadi pada Mira kemarin. Dalam penjelasannya, Adi menyelipkan beberapa materi yang berhubungan dengan kuliah. Dan ketika jam kuliahnya berakhir, seperti biasa Adi memberikan tugas sebagai cara baginya untuk melihat apakah mahasiswanya tadi mendengarkan, menyimak dan memahami apa yang dijelaskannya tadi.
“Kumpulkan tugasnya tiga hari lagi seperti biasa lewat email!” Adi mengingatkan.