Karena memutuskan untuk menunda niatannya membayar hutang pada Sena dikarenakan mimpi-mimpi yang terus mengganggunya, Adi sengaja tidak datang ke perpustakaan untuk sementara waktu. Tapi anehnya … Adi terus bertemu dengan Sena secara kebetulan.
“Siang, Pak Adi.” Sena menyapa Adi lebih dulu ketika tidak sengaja bertemu di kantin.
“Ah, Mbak Sena. Siang juga, Mbak.” Adi jelas kaget, tapi Adi memasang senyum biasanya sembari mengeluh dalam benaknya. Berapa persen kemungkinan aku ketemu Sena di kantin? Jam segini? Harusnya cukup kecil, tapi kami tetap saja bertemu.
“Saya enggak disapa, Mbak?” Danu yang berdiri di belakang Adi, ikut nimbrung dan bicara pada Sena karena merasa iri tidak disapa oleh Sena.
“Ah, Pak Danu! Siang, Pak.” Sena langsung menyapa Danu.
“Saya kira Mbak lupa sama saya loh,” ujar Danu.
“Enggak kok, Pak. Saya enggak lupa.”
Sena tersenyum seperti biasa dan membuat Adi kembali teringat senyuman Sena dalam mimpinya. Sial!! Padahal aku sudah sengaja pilih jam makan siang telat karena jam segini kantin pasti sepi, tapi … aku malah ketemu Sena!
“Mbak makan siang sama siapa? Sendiri?” Danu seperti biasa, bersikap ramah pada siapapun.
“Kebetulan sendiri, Pak.”
“Kalo gitu bareng sama kita saja, Mbak.” Danu memberi tawaran sembari melirik Adi dengan kedipan matanya. “Ya, Di?”
Danu sialan! Kamu ini!! Adi mengumpat dalam benaknya.
“Kalo boleh, saya senang sekali. Tapi apa Pak Adi enggak keberatan?” Sena tersenyum menerima tawaran Danu sebelum akhirnya menatap Adi dengan tatapan matanya yang dalam.
Dag, dig, dug!!
Menerima tatapan Sena yang dalam, jantung Adi kembali berdetak kencang. Ditambah dengan teringat mimpinya, Adi hanya bisa memasang senyumnya dan terpaksa memberikan Danu keinginannya.
“Bo-boleh kok, Mbak.”
“Gitu donk, Di! Bosan aku selalu makan siang sama kamu saja!” ujar Danu semangat.
“Aku kan enggak minta temenin kamu makasn siang, Dan! Kamu sendiri yang selalu ikut dan nunggu aku buat makan siang.” Adi mengomel.
“Aku nunggu kamu kan, karena aku ini teman yang baik.” Danu membalas.
“Makasih, Pak.” Di sisi lain, Sena mengucapkan terima kasih pada Adi dan Danu karena makan siangnya tidak sendirian.
“Cuma makan saja kok, Mbak,” balas Adi.
Adi berjalan menuju ke salah satu meja kosong dengan Danu di belakangnya dan Sena di sampingnya. Huft!! Mulutku ini … mulai bicara tanpa kendaliku.
“Apanya yang cuma makan? Kamu paling ngehindari soal makan siang karena takut ada banyak dosen wanita muda yang berusaha makan siang bareng kamu, Di!”
Danu!!! Mulutmu itu, bisa enggak sih kamu jaga dengan baik?? Adi mengeluh dalam benaknya sembari melirik tajam Danu. Tapi seperti biasa, Danu yang tidak peka terus saja bicara hal-hal yang membuat Adi semakin kesal.
“Saya sudah tahu kalo Pak Adi punya banyak penggemar, Pak,” tambah Sena.
“Mbak sudah tahu?” tanya Danu dengan mata berbinar.
“Sudah kok, Pak. Ada beberapa anak di perpus yang juga penggemar Pak Adi, saya tahu dari mereka.”