Setelah makan bersama hari itu, hubungan Adi dan Sena berkembang dengan cepat. Sena sering makan siang bersama dengan Adi dan Danu. Sena juga tidak sungkan lagi bicara dengan Adi ketika bertemu di perpustakaan atau di tempat-tempat lain. Bahkan terkadang, Adi akan ikut nimbrung dengan Rani dan Sena ketika sedang asyik ngobrol di ruang meeting perpustakaan.
Hubungan dekatnya dengan Sena, membuat Adi dekat dengan beberapa mahasiswanya termasuk Rani dan teman-temannya. Adi bisa mengatakan jika hubungan dekatnya dengan Sena tak seburuk dalam benaknya. Orang-orang di dekat Sena kebanyakan adalah orang-orang yang tahu batasannya dengan baik, sama seperti Sena. Tidak seperti orang-orang yang selama ini berusaha dekat dengan Adi dengan maksud dan tujuan tertentu.
Tepat setelah sebulan dekat dengan Sena, Adi benar-benar yakin dengan perasaannya sendiri dan kali ini lebih memilih untuk menghadapi perasaan itu dengan benar. Jadi Adi berniat untuk mengungkapkan perasaannya pada Sena dengan bicara empat mata dengan Sena.
Tapi … umtuk bicara dengan Sena empat mata, itu bukan sesuatu yang mudah. Selalu ada saja halangan bagi Adi untuk berdua saja dengan Sena. Seperti ini.
“Mbak Sena.”
Di tengah jam kosongnya, Adi sengaja datang ke perpustakaan. Kebetulan perpustakaan cukup sepi hari ini karena sedang ada tes di semua jurusan dan kebanyakan dari mahasiswa lebih baik menunggu di gedung jurusan mereka masing-masing.
“Ya, Pak Adi.”
“Bi-bisa kita bicara berdua? Ada yang ingin saya bicarakan sama Mbak.” Tadinya … Adi ingin mengajak Sena bicara di ruang meeting, berdua saja. Tapi ketika hendak masuk ke ruang meeting, Adi menemukan Rani bersama dengan Mira dan beberapa temannya sedang diskusi di dalamnya.
“Pak Adi!” Rani menyapa Adi dengan penuh semangatnya.
“Rani, ssst! Ini perpus!” Sena mengingatkan Rani.
“Ah maaf, Mbak. Lupa.” Rani bangkit dari duduknya, mendekati Adi dan kemudian menatap Adi dengan kedua mata coklatnya yang membulat besar.
“Apa? Kenapa?” tanya Adi bingung.
“Kebetulan Bapak datang ke sini, Pak. Kami butuh bantuan, Pak!”
“Eh??” Adi yang tadinya ingin bicara, hanya bisa melihat dengan kaget ke arah Rani yang baru saja meminta tolong padanya. “Ba-bantuan apa?”
“Untuk ujiannya Pak Danu, Pak. Kami dapat kisi-kisinya, tapi ada beberapa poin yang kami enggak bisa pecahkan, Pak! Tolong yah, Pak. Satu jam lagi kami ujian, Pak.” Kali ini yang bicara adalah Mira yang juga mendatangi Adi dan meminta tolong bersama dengan Rani. Keduanya mengerlingkan mata pada Sena untuk meminta bantuan.
“Eh?” Adi masih bingung.
“Sudah, Pak. Bapak bantu saja dulu mereka, kita bisa bicara nanti.” ujar Sena yang tersenyum melihat tingkah dan usaha Rani dan Mira yang sedang meminta bantun pada Sena untuk membantu mereka.
“Ayolah, Pak Adi. Tolong kami!”