“Di!” Danu yang baru saja keluar dari masjid, terkejut melihat Adi duduk termenung di depan masjid menunggunya. Danu belum pernah melihat wajah Adi seperti ini dan seperti biasa, Danu sedikit menjahili Adi dengan niatan Adi akan kesal nantinya. “Kenapa dengan mukamu? Kayak habis ditolak aja!”
“Kelihatan banget?” Adi balik tanya.
“Eh??” Bukannya Adi yang kaget seperti niatannya, tapi Danu sendiri yang justru kaget mendengar pertanyaan balik Adi. “Aku tadi cuma bercanda, Di! Kamu kok kayak nanggepinya serius gitu? Kamu ditolak? Enggak mungkinlah! Kamu bintang di kampus ini selama beberapa tahun ini! Enggak mungkin ada wanita yang nolak kamu, Di!”
“Nyatanya emang ada, Dan! Aku baru saja ditolak!”
Danu yang benar-benar tidak percaya dengan ucapan Adi, langsung meletakkan kedua tangannya di bahu Adi dan membuat badan Adi mengarah padanya agar Danu dapat dengan jelas melihat wajah Adi. “Kamu enggak lagi bercanda, Di? Beneran ada yang nolak kamu, Di??”
Wajah Adi semakin terlihat sedih setelah mendengar pertanyaan dan raut wajah Danu yang menandakan dirinya sedang dalam keadaan tidak percaya. “Aku enggak bohong, Dan! Apa wajahku ini sedang mengatakan kalo aku ini sedang bohong sama kamu, hah??”
“Eh??? Beneran? Siapa??” Danu mengguncang badan Adi dengan menarik dan mendorong bahu Adi dengan kedua tangannya. “Cepat bilang, siapa yang nolak kamu, Di! Siapa wanita yang berani-beraninya nolak temen aku yang ganteng, keren dan super cool ini?? Siapa, Di? Siapa??”
Huft! Adi menghela napas sebelum membuka mulutnya. Benak Adi memutar kejadian yang belum lewat setengah jam yang lalu.
Dua puluh menit yang lalu.
Setelah seharian mencoba bicara dengan Sena dan selalu berakhir dengan kegagalan karena berbagai alasan. Tadinya … Adi ingin menyerah dan melanjutkan niatannya di esok hari. Tapi sebelum pulang bersama dengan Danu seperti biasa, Danu minta mampir ke Masjid untuk sholat karena lupa jika belum sholat Ashar.
Seperti biasanya ketika sedang menunggu Danu, Adi akan duduk di mobil atau duduk di depan masjid. Tapi karena sudah hari sudah sore dan matahari sudah tidak terik lagi, Adi memilih untuk duduk di depan masjid dan menunggu Danu sembari menikmati embusan angin sore hari.
Sejujurnya, Adi sangat suka duduk di depan masjid besar kampus tempatnya bekerja. Selain karena embusan anginnya terasa lebih sejuk dari embusan angin biasa, suasana di depan masjid itu rasanya sedikit berbeda. Ada beberapa pohon besar tidak jauh dari bagian depan masjid dan Adi sangat suka mendengar suara gemerisik dedaunan ketika angin berembus. Suasana seperti itu mengingatkannya pada kenangan lamanya bersama dengan ayah dan ibunya di masa lalu ketika mereka masih hidup.
“Pak Adi.”
Kebetulan yang lain datang pada Adi yang sedang duduk termenung menikmati angin berembus dengan gemerisik dedaunan sembari mengingat kenangan lamanya bersama dengan ayah dan ibunya.
Sena. Kami kebetulan ketemu lagi di sini. Adi menatap Sena selama beberapa detik sebelum akhirnya menyapa balik Sena lengkap dengan senyum kecil. “Mbak Sena.”
“Nunggu Pak Danu lagi?” Sena bertanya sembari duduk berjarak dua orang dari Adi dan memasang kaos kaki dan sepatunya.
“Kayak biasa.” Adi menjawab dengan sedikit candanya. “Teman yang selalu nempel sama aku, cuma Danu. Teman yang selalu buat aku nunggu di sini ketika aku non Islam, yah cuma Danu saja.”