“Suamiku.”
Ketika tertidur setelah membaca kisa Nabi Yusuf AS, Adi lagi-lagi masuk ke alam mimpi di mana dirinya biasanya bertemu dengan Sena. Tapi mimpi kali ini berbeda. Adi tak lagi berada di pantai. Adi duduk di depan masjid seperti saat Adi duduk di masjid kampus. Mimpi kali ini terasa lebih mirip dengan kenyataan yang dilalui Adi hingga Adi tidak bisa membedakan antara mimpi dan bukan.
Suamiku? Adi yang sedang memasang kaos kaki dan sepatunya, menolehkan kepalanya dan melihat Sena yang sedang memanggilnya dan duduk di sampingnya. Tidak seperti sebelum-sebelumnya di mana Sena selalu menjaga jarak saat duduk, kali ini Sena duduk dekat dengannya dan memasang sepatu miliknya. Ini artinya aku sedang bermimpi.
Huft! Mimpi ini terasa nyata sekali.
“Ya?”
“Kamu selalu bilang kamu suka sekali duduk di depan sini kan?” tanya Sena.
Wush!!
Sebelum Adi menjawab, embusan angin datang menerpa Adi dan Sena. Adi diam sejenak memandang langit biru di atas kepalanya dan membuat wajahnya diterpa angin yang terasa menyejukkan itu.
“Ya, aku suka duduk di sini, di depan masjid. Entah kenapa anginnya terasa sangat sejuk ketika aku duduk di sini.”
“Kalo gitu, boleh aku bilang sesuatu, suamiku?” tanya Sena.
Adi menurunkan kepalanya yang tadi tengah melihat langit dan menoleh melihat Sena yang duduk di sampingnya. Adi menatap Sena dalam-dalam karena penasaran dengan apa yang ingin Sena katakan.
“Mau bilang apa?”
“Kamu selalu tanya sejak kapan aku mulai suka kamu kan?”
Eh? Apa aku pernah menanyakan itu? Dalam benaknya Adi merasa heran dengan pertanyaan itu. Tapi tubuhnya mengatakan hal yang sebaliknya. Bibir Adi tersenyum dan kepalanya mengangguk sebelum mulutnya bicara. “Ya. Jadi sekarang kamu mau bilang?”
“Ya.”
“Sejak kapan?” Adi sangat-sangat penasaran sampai benaknya memuatr semua waktunya bersama Sena dan menerka-nerka waktu mana Sena mulai suka padanya.
“Sejak lihat kamu duduk di depan masjid seperti ini.”
“Apa yang buat kamu suka aku waktu itu?” Adi semakin penasaran.