Tiga hari kemudian.
Setelah tiga hari Adi menginap di rumah sakit, Adi akhirnya bisa pulang ke rumah. Danu sengaja mengubah jadwal kelasnya hanya untuk menjemput Adi.
“Selama tiga hari ke depan, aku yang akan antar jemput kamu kerja, Di,” ujar Danu.
“Eh, tumben?” Adi kaget mendengar Danu yang perhatian padanya. “Mobil kamu udah selesai servisnya?”
“Udah lama selesai.”
“Terus selama ini kamu nebeng aku, ngapain?” Adi kaget bukan main mendengar pengakuan Danu.
“Sengaja. Kan enak kayak punya sopir.” Danu menjawab dengan tawa kecilnya seolah tanpa dosa sama sekali setelah terus menerus merepotkan Adi. “Oh, ya. Mobil kamu masih diservis. Paling cepet seminggu, paling lama dua minggu. Jadi selama itu aku yang akan antar jemput kamu, Di.”
“Sadar diri rupanya.” Adi menjawab dengan nada ketusnya.
“Ha ha ha! Jangan marah gitu donk, Di!” Danu tertawa kecil melihat Adi kesal. “Aku gitu kan biar bareng terus sama teman terbaikku.”
“Teman baik apanya?” Adi mengomel kesal.
Luka di kepala Adi awalnya memang kelihatan cukup parah. Darah yang keluar cukup banyak saat Adi dibawa pertama kali ke rumah sakit. Tapi setelah dilakukan banyak pemeriksaan, benturan di kepala Adi tidak meninggalkan luka di bagian dalam dan hanya luka di bagian luar saja. Akan tetapi selama seminggu lamanya, Adi harus menggunakan penyangga leher karena benturan waktu itu membuat leher Adi juga sakit.
Dan sekarang Danu memperlakukan Adi layaknya pasien dengan luka parah, bahkan membuat Adi duduk di kursi roda untuk menuju ke lobi rumah sakit di mana Danu akan mengurus administrasi sebelum Adi keluar.
“Aku ini enggak papa, Danu!” Adi menolak dengan keras untuk duduk di kursi roda. “Yang luka ini kepalaku, bukan kakiku!”
Tapi Danu tetaplah Danu. Mau sekeras apapun Adi berusaha, kalo Danu sudah keluar mode ngeyelnya, Adi akan tetap kalah juga.
“Sudah diam saja! Duduk di kursi roda! Kamu masih sakit! Kepalamu masih diperban dan lehermu masih disangga sama penyangga!”
Setelah menyelesaikan semua administrasi dan mengambil obat-obatan untuk pemulihan Adi selama seminggu ke depan, Danu mengambil mobil sementara Adi menunggu di lobi.
Broom, broom!
Danu yang biasanya menyetir dengan cara yang lebih kasar dari Adi, sekarang menyetir dengan kecepatan normal: 40-60 km/jam dan sangat berhati-hati. Bahkan ketika ada halangan jalan seperti polisi tidur, Danu akan menurunkan kecepatannya dan menoleh ke arah Adi untuk bertanya.
“Kamu enggak papa kan, Di?”
“Enggak papa, Dan! Sudah kubilang kamu bisa nyetir kayak biasanya!” Adi mengulang kalimat itu entah sudah berapa kali dalam setengah jam ini.
“Yah, aku takut saja. Aku ini dosen psikolog, aku tahu kalo orang yang habis kecelakaan biasanya akan trauma dengan penyebab kecelakaannya, Di!”
Adi hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar penjelasan Danu tentang kekhawatirannya. “Tapi aku juga dosen psikolog, Dan! Aku tahu dengan baik apa yang namanya trauma dan aku katakan dengan jelas, aku sama sekali enggak trauma buat nyetir lagi!”
Perjalanan yang harusnya hanya memakan waktu sepuluh sampai lima belas menit, berubah menjadi tiga puluh menit karena Danu menyetir dengan pelan dan sangat berhati-hati. Meski Adi sudah mengatakan dirinya baik-baik saja, Danu tetap tidak percaya dan tetap menyetir dengan hati-hati.