Setelah membuat doa seperti itu, mimpi-mimpi yang datang dalam tidur Adi mulai jarang datang. Adi merasa hal itu sebagai pertanda bagi Adi untuk mundur dari usahanya mengejar Sena. Hanya saja memutuskan untuk mundur setelah sekian banyak hal yang dilakukan Adi untuk Sena, membuat Adi tentu saja merasa sedih. Jadi sebelum benar-benar merelakan segalanya tentang Sena dan membiarkan Sena untuk hidup tenang seperti keinginannya, Adi ingin melakukan sesuatu dengan Sena.
“Sabtu besok, sibuk enggak?”
Adi yang seperti biasa ingin melarikan diri dari Danu dan mulutnya yang terus mengganggu, datang ke ruang meeting perpustakaan untuk mencari ketenangan. Kebetulan di ruang meeting itu, Adi bertemu dengan Sena yang sedang duduk bersantai setelah menyelesaikan tugasnya.
“Tumben. Aku senggang kok. Kenapa?” Sena menjawab dengan senyum kecilnya.
Setelah tahu bahwa Adi adalah anak yang pernah ditolongnya, Sena tak lagi memanggil Adi dengan panggilan pak ketika sedang berdua.
“Aku ingin nonton film di bioskop. Bisa temani aku?”
Adi mengira Sena mungkin akan menolak ide dan ajakannya itu. Tapi ternyata Sena justru menyambut hangat ajakan Adi itu.
“Nonton film apa? Action? Horor? Pokok jangan film romantis aja, aku ikut!” Sena menjawab.
“Yah siapa yang mau nonton film romantis? Aku juga enggak suka genre itu. Action atau horor enggak masalah kan?” Adi balik bertanya. “Kebetulan ada film baru dengan dua genre itu.”
“Aku mau lihat kalo dua genre gitu.” Sena menjawab sembari bangkit dari duduknya dan pindah duduk tepat di depan Adi. “Tapi kenapa adik kecil ini ngajak aku buat nonton?”
Adi melihat tajam ke arah Sena sebelum memasang senyum pahitnya. “Apa kamu ingin menggodaku? Berhenti sekarang sebelum aku balas!”
Sena tertawa kecil mendengar ancaman Adi. “Kamu berani ancam aku, adik kecil?”
“Kenapa enggak?” Adi membalas sebelum melihat Sena dengan tatapan dalamnya. “Aku ngajak kamu nonton karena kamu adalah alasan aku sampai sekarang belum punya pasangan. Puas??”
“Cih!” Sena tertawa kecil lagi mendengar jawaban Adi. “Kamu pendendam banget, adik kecil. Yah tapi jawaban kamu tadi adalah tanda kamu udah dewasa, sudah enggak layak dipanggil adik kecil lagi.”
“Bagus kalo tahu.” Adi menjawab dingin.
“Jam berapa filmnya?” Sena mengganti topik pembicaraan dengan cepat.
“Jam 11 siang. Aku jemput di rumahmu aja. Kan aku sekalian lewat aku mau balikin kotak makanan punya Ibumu.” Adi menjawab lagi.
“Btw, kenapa mendadak ngajak nonton? Jujur aja, apa alasannya?” Sena bertanya lagi pada Adi, kali ini dengan raut sedikit serius di wajahnya.
Kurasa sudah waktunya aku nyerah ngejar kamu. Hidupmu selama ini berat. Aku enggak mau membebanimu dengan perasaanku. Kamu sendiri kan bilang ingin hidup tenang?
Di sampingku, kamu enggak akan bisa hidup tenang. Sejak kecil … banyak orang menyebutku anak pembawa sial dan hingga hari ini, aku selalu terlibat dengan banyak masalah. Aku … enggak ingin buat kamu terus susah dan terbebani karena aku.
Aku bilang aku suka kamu. Aku bilang aku jatuh cinta padamu. Dan inilah caraku menyukaimu, Sena. Merelakanmu agar kamu bisa hidup tenang dan jadi temanmu, kurasa adalah cara yang tepat.
Adi ingin sekali mengatakan hal itu pada Sena. Tapi apa daya mulutnya tidak bisa berucap karena jauh dalam hatinya, Adi masih tidak rela jika di masa depan dirinya melihat Sena menikah dengan pria lain yang bukan dirinya. Sayangnya … apa daya Adi kalau memang Allah berkehendak Adi bukan jodoh Sena. Di masa lalu Adi sudah terlalu banyak berhutang pada Sena, di masa lalu Sena juga sudah terlalu banyak menderita karena hidupnya dan sekarang … Adi hanya ingin Sena melakukan apa yang diinginkannya dan hidup bahagia. Hanya itu yang bisa Adi lakukan untuk membalas hutang nyawanya pada Sena.
“Adi!” Sena menggerakkan tangannya di depan Adi, karena Adi tak kunjung menjawab pertanyaan Sena.