“Enggak.” Sena menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya melihat ke satu arah. Sena mendadak mengulurkan tangannya, membantu Adi yang masih dalam posisi berbaring untuk bangun. ”Tapi … sebelum aku nerima kematianku, aku harus cari cara keluar dari sini lebih dulu.”
Mendengar jawaban Sena, Adi yang sedang berusaha bangkit dengan bantuan uluran tangan Sena, merasa aneh dengan jawaban Sena itu. “Loh bukannya kamu bilang kamu enggak takut mati? Tapi kenapa sekarang-“
Sena menyorotkan hpnya yang sedang menyalakan senternya, menunjuk ke salah satu arah sebelum akhirnya mematikan senter hpnya dan memasukkan hpnya ke tas kecil yang melingkar di lehernya. Sena menunjuk arah itu sebelum memberikan jawaban pada Adi. “Aku emang enggak takut mati. Apa yang perlu ditakutkan kalo kematian datang? Setelah mati, hidupku akan tenang. Aku enggak lagi harus memikirkan banyak hal seperti saat aku hidup. Tapi … saat ini Allah masih kasih aku pilihan. Selamat atau enggak? Kalo selamat, apa aku akan terluka atau enggak? Kalo masih ada peluang untuk selamat, kita harus mencobanya. Selama masih ada pilihan, aku harus usaha semaksimal mungkin. Kalo setelah usahaku yang keras itu aku gagal, pilihanku cuma pasrah dan kalo memang Allah mengatakan sekarang waktuku mati, aku akan menerima kematian itu dengan ikhlas.”
Da-dari mana keyakinan seperti itu berasal? Mendengar jawaban Sena, Adi hanya bisa bertanya-tanya dalam benaknya. Kepercayaan Sena pada Allah adalah kepercayaan penuh manusia pada pencipta-Nya yang sangat jarang dilihat oleh Adi seumur hidupnya. Selama ini … Adi sudah bertemu banyak orang dan melihat banyak kematian, tapi beberapa dari yang dilihatnya tak satupun dari mereka yang menunjukkan keyakinan mereka pada Sang Pencipta yang sangat mendalam seperti kepercayaan yang Sena miliki.
Jika bisa … aku juga ingin seyakin itu pada Allah SWT. Tapi … apa aku bisa melakukannya? Percaya pada Allah SWT seperti yang Sena lakukan?
Rasa penasaran Adi membawa Adi untuk bertanya lagi pada Sena. “Kamu seyakin itu pada Allah? Menurutmu Allah akan nyelametin kita?”
Sena menyalakan lagi senter dari hpnya dan membuat Adi melihat raut wajahnya sekarang. “Aku selalu percaya dengan Allah. Kalo memang takdir kita berdua tetap hidup, maka Allah akan beri jalan kita berdua untu menyelamatkan diri. Dari pengalaman hidupku, aku belajar semua manusia bisa datang dan pergi dalam hidup tapi tidak dengan Allah. Saat aku susah, bahagia, hanya Allah yang selalu di sisiku. Aku yakin saat aku kesulitan, Dia akan memberi petunjuk padaku. Aku juga yakin saat aku bahagia, Allah akan ikut merasa senang mendengarku bersyukur. Bahkan jika akhirnya aku mati di tempat ini, aku yakin Allah akan berbaik hati membuatku menemukan tempat di mana aku enggak akan merasa sangat sakit saat kematian menjemputku.”
Adi ingin bertanya lagi pada Sena. Tapi Sena dengan cepat mematikan senter hpnya dan menarik tangan Adi untuk mulai bergerak.
“Aku tahu masih ada yang ingin kamu tanyakan, tapi simpan dulu pertanyaan itu, Adi! Sekarang … kita harus berusaha untuk bertahan hidup lebih dulu!”
Sena menebak dengan baik apa yang Adi ingin lakukan tadi. Tapi seperti kata Sena, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengajukan banyak pertanyaan dalam benaknya pada Sena. Ada banyak hal yang harus dipikirkan saat ini dan yang paling penting adalah cara bertahan hidup lebih dulu.
“Kita mau ke mana?” Adi akhirnya menerima situasinya dan mulai fokus dengan situasinya saat ini. “Bukannya lebih tepat untuk menunggu di tempat tadi?”
“Harusnya memang gitu. Tapi tempat tadi sedikit berbahaya. Debu yang turun terlalu banyak. Kemungkinan hanya dengan sedikit getaran kecil, reruntuhan di atas kita akan menjatuhi kita.” Sena menjelaskan sembari merangkak di depan Adi, menuntun Adi dan memimpi jalan.
“Dari mana kamu tahu pengetahuan kayak gini?” Adi yang tadi sudah merasa aneh dengan sikap dan ketenangan Sena, semakin merasa aneh. Karena masalah keyakinan tadi, Adi sempat melupakan rasa penasarannya dengan sikap Sena. Tapi sekarang … Adi kembali lagi merasa penasaran.