Enam bulan kemudian.
Danu berlari dengan langkah kakinya yang panjang dan tergesa-gesa. Danu yang sudah mengenakan setelan jas hitam, kini terlihat sedikit berantakan karena berlari ke sana dan ke sini sedang mencari sesuatu.
“Bapak cari apa? Biar saya bantu.”
Danu menatap pria itu dari atas kepala hingga ke sepatunya. Hanya dalam satu kali lihat, Danu tahu pria di depannya adalah staf yang bertugas sebagai waitress di acara nanti.
“Ah kebetulan sekali, Mas! Tolong aku!” Danu sedikit menghela napas panjangnya karena akan ada yang bisa membantunya. “Cincin pengantin pria hilang! Kayaknya aku menjatuhkannya di sini karena tadi mengejar anakku.”
“Apa? Cincin pengantin pria?” ulang pria itu.
“Ya, cincin pengantin pria, Mas. Tolong bantu aku, Mas! Ini masalah gawat dan genting!” Danu mengangguk.
Tak lama kemudian pria yang berpakaian sebagai waitress itu bicara dengan mic yang terpasang di pinggiran wajahnya dan tidak lama kemudian ada banyak pria yang datang dengan seragam yang sama dengan pria itu.
“Cincinnya seperti apa, Pak?” tanya pria itu.
“Bentuknya sederhana. Warna emas karena dari emas.”
“Apa ada ciri yang lebih spesifk lagi, Pak?”
“Oh! Di bagian dalamnya ada inisial A.S.”
“Oke, kalian sudah dengar kan! Tolong segera temukan cincin itu! Karena acara pernikahannya kurang dari setengah jam lagi!”
Kreet!
Lima belas menit kemudian, Danu yang telah berhasil menemukan cincin milik Adi, berjalan ke ruang tunggu pengantin pria dengan napas sedikit tersengal.
“Ketemu?” Adi langsung mengajukan pertanyaan ketka melihat Danu.
“Ketemu.” Danu menjawab masih dengan napas tersengalnya sembari menunjukka cincin pernikahan Adi yang telah ditemukannya.
“Jujur saja! Kamu ingin aku gagal nikah kan, Dan?” Di dalam ruangan itu ada Adi yang telah mengenakan setelan jas hitam putih dan sedang menunggu dengan gugup berkat Danu.
“Hei, teman!” Danu langsung duduk di samping Adi dan merangkul bahu Adi. “Orang yang paling senang kamu nikah adalah aku, Di! Enggak mungkin aku buat kamu gagal nikah?”
“Kalo gitu … kenapa kamu bisa hilangkan cincin nikahku? Padahal aku sudah bilang buat hati-hati ambilnya?” Adi mengomel dengan tangannya yang gemetar karena terlalu gugup.
Danu bisa melihat betapa gugupnya Adi dan hanya bisa tersenyum menahan dirinya karena pengalaman Adi sekarang, Danu sudah pernah merasakannya.
“Sori, sori! Aku kan udah bilang enggak sengaja, Di. Tadi kan anakku lari-lari dan hampir saja jatuh! Aku nangkap dia dan kehilangan cincinmu waktu itu, Di!” Danu merangkul Adi lebih erat dari sebelumnya. “Udah jangan gugup! Nanti pasti berjalan lancar kok. Kalo kamu ingat apa yang aku ajarin dan baca doa, nanti pasti berjalan lancar!”
Adi mengembuskan napasnya dan membaca doa yang bisa diingatnya sekarang. Seperti kata Danu, tidak lama kemudian rasa gugup Adi berkurang dan Adi bisa sedikit merasa tenang.
“Aku benar-benar enggak nyangka, Di!” Danu melepaskan rangkulannya di bahu Adi dan sedikit menjauh dari Adi, agar Adi punya sedikit ruang.
“Apa?” tanya Adi.
“Kamu benar-benar nikah sekarang.” Danu tersenyum bahagia. “Kamu benar-benar nikah dengan orang yang kamu kejar, uhm, sudah berapa lama kamu ngejar Sena?? Aku sampai sudah enggak ingat lagi.”
Adi mengangguk setuju dan tersenyum kecil. “Sampai hari ini … aku juga masih belum percaya, Dan! Aku kira aku sudah melepasnya enam bulan yang lalu setelah kami mengalami musibah nahas di mall itu. Aku sudah merelakan Sena kalo memang dia bukan jodohku. Tapi setelah merelakan Sena dan fokus mendalami Islam, entah kenapa Sena semakin dekat denganku. Ada banyak kebetulan yang terjadi di antara kami dan buat kami sering ketemu dan dekat satu sama lain.”
“Ya, aku ingat itu. Kebetulan itu terus berdatangan seakan-akan Allah sedang memberi restu pada kalian.” Danu menganggukkan kepalanya. “Sebulan yang lalu, aku benar-benar nyaris kena serangan jantung waktu kamu bilang kamu akan nikah dengan Sena dalam sebulan. Aku enggak pernah nyangka setelah lima bulan merelakannya, kamu akan kembali bertanya pada Sena soal masa depan kalian bersama.”
Baik Adi dan Danu diam sejenak. Keduanya terdiam karena dalam benak mereka saat ini sedang memutar banyak hal yang terjadi dalam enam bulan terakhir. Dari pertemuan Adi dan Sena di luar kampus secara kebetulan. Adi dan Sena yang duduk bersama di depan masjid karena menunggu Danu. Dan masih banyak hal lain. Baik Adi dan Danu mengenang waktu-waktu itu seolah mereka tidak percaya apa yang akan terjadi setelah ini.
Danu bangkit dari duduknya setelah melihat jam tangannya. “Sudah waktunya, Di! Kamu siap?”
“Yeah. Aku harus siap. Setelah proses ini, kami akan jadi suami istri.”
“Bagus.” Danu tersenyum lega melihat Adi yang berusaha dengan sangat keras untuk tidak gugup. “Oke, tarik napas dulu! Seperti kataku tadi, jangan gugup! Tenangkan dirimu dan berdoa pada Allah! Seperti kataku, kalau Allah merestui kalian, maka nantinya proses ini akan berjalan lancar!”