"Ndah! Ndah!"
"Ya, Sayang! Sebentar! Bunda matikan kompor dulu!'
"Ndah!"
"Sebent—"
Telat. Suara benda jatuh terdengar mendahuluiku. Dengan tergopoh-gopoh kuhampiri Dinda yang tak henti memanggil.
Astaghfirullah! Dinda membanting kembali biolanya. Benda yang kubeli seharga hampir setengah bulan gaji itu, kini tergeletak dengan dawai terputus. Kutarik napas sepenuh paru-paru, lalu mengembuskannya perlahan dari mulut. Hanya ini yang bisa meringankan sesak di dada saat ini. Sesak oleh beban yang kian menghimpit hidup.
Kupegangi wajah Dinda dengan menarik kedua rahangnya agar bisa menghadap ke arahku. Kalau tak dipaksa begitu, sampai kapan pun tidak akan terjadi kontak mata. Sudah pasti ia tak akan merespon siapa di hadapannya yang mengajak berbicara.
"Dinda mau apa panggil Bunda?"Â
"Ola-ola! Ola-ola!" teriaknya dengan bahasa yang sulit dimengerti.