Seperti biasa, aku pulang lebih awal dari kantor kalau sudah waktunya Daffa transfusi darah. Bu Mien menelepon mengabarkan kondisi anak sulungku. Aku segera melarikan motorku dengan kecepatan tinggi. Di benakku hanya ada Daffa yang pasti sudah menunggu dengan muka pucatnya.
Benar saja Daffa terkulai lemah di sofa. Rupanya Bu Mien, perempuan separuh baya yang menjaga kedua anakku itu sudah mempersiapkan segalanya untuk berangkat ke rumah sakit. Ia sudah paham apa yang harus dilakukan. Aku tinggal memanggil taksi untuk membawa Daffa ke rumah sakit.
Sebelum berangkat, kupeluk Dinda yang asyik mencoret-coret kertas gambarnya dengan krayon. Tangan dan pipinya penuh dengan coretan warna-warni. Aku mencium pipinya, namun bocah delapan tahun itu seperti tak terpengaruh suasana. Ia tetap tenggelam dalam lukisan abstrak yang hanya dimengerti dirinya sendiri. Dinda memang anak penyandang authis.
"Nanti mandi sama Bu Mien, ya, Sayang," ujarku pada Dinda yang tengah memoleskan krayon merah tak beraturan. Ia seolah tak mendengar ucapanku.
"Bu, titip Dinda, ya? Mungkin saya dan Daffa pulang malam atau pagi. Itu pun kalau Daffa cepat pulih. Kunci saja pintunya," ujarku.
"Baik, Neng. Nggak usah khawatir. Neng Dinda mah nggak usah dipikirin, aman atuh kalau sama saya,” jawab Bu Mien dengan logat Sundanya yang kental.
"Jangan lupa makannya tanpa telur ya, Bu. Kasih susu sama sup aja."
Kuingatkan asupan makanan Dinda yang harus dijaga kepada Bu Mien. Selama ini pola makannya memang harus mengikuti diet yang dianjurkan dokter selagi terapi. Jika tidak, akan mempengaruhi kondisinya menjadi tak stabil. Biasanya ia akan hyperaktif, tak bisa diam bahkan bisa mengamuk.