Bandung, 2006–2008
“Aa? Betulkah ini Aa Fian?”
“Kamu ... Vanna? Si ceriwis yang suka jahil ngumpetin kelereng Aa dulu?"
"Pangling!"
Kata itu terlontar bersamaan dari mulut kami diikuti derai tawa, lalu berpelukan.
Kembali ke saat kami dipertemukan lagi, tepatnya di tahun 2006, peristiwa yang menjadi kisah kehidupanku sekarang ini dimulai. Tak akan pernah kulupa sampai kapan pun momen yang indah, namun awal dari prahara.
Alfian Nugraha, saudara sepupuku itu datang kembali di kehidupan. Ia anak Om Dira, kakak ibuku yang tinggal di Kalimantan. Kebetulan Fian mendaftar dan diterima kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung. Aku senang karena sudah lama sekali tak bertemu, sejak keluarga Om Dira pindah ke bumi Borneo karena tugasnya sebagai ASN di Dinas Kehutanan.
Terakhir bertemu, aku masih kelas lima SD dan Fian baru masuk SMP. Kerinduan yang membuncah saat itu tertumpahkan. Namun ada yang berbeda dengan penampilannya kini. Fian berubah menjadi lebih dewasa, ganteng dengan tubuh yang proporsional. Walaupun kulitnya sedikit lebih legam. Berbeda sekali dengan Fian kecil yang dulu bertubuh kurus.
“Kok sekarang kamu jadi cantik, Vann? Perasaan dulu jelek, gendut, tembem, jahil lagi.” Fian menggodaku sambil menangkis pukulan dariku. Kebiasaannya menggodaku dari kecil, tak hilang. Ia memang suka sekali mengganggu sampai aku menangis kemudian mengadu kepada Ayah-Ibuku.