Menjelang ujian, aku ikut bimbingan belajar setiap pulang sekolah. Ayah dan Ibu berharap agar aku bisa masuk di fakultas kedokteran. Namun, niatku membelok setelah tak boleh bertemu Fian lagi. Di jam-jam itu, kupergunakan untuk menemuinya. Jadi tak ada alasan untuk orangtuaku curiga. Aku tahu itu salah, tapi tak bolehkah jika memanfaatkan situasi karena tak ada cara lain. Aku sudah tak bisa menahan diri untuk tak bertemu dengannya. Rindu ini sudah memuncak!
Sore itu seperti biasa, aku sudah berada di kamar kos Fian. Hanya ada dua kamar yang berada di samping rumah induk. Tak seketat tempat lain, karena tak ditunggui ibu kos-nya Suasana sepi memudahkanku untuk keluar masuk kamar. Apalagi Fian biasa menyimpan kunci di bawah keset. Kalau Fian belum pulang, aku menunggunya sambil tiduran.
Alunan musik yang kuputar dari kaset Muse dengan lagu Unintended, hampir membuatku tertidur ketika pintu kamar terbuka. Aku pura-pura terlelap. Sesaat kemudian, kurasakan seseorang berada di dekatku. Ada sentuhan hangat dan lembut mendarat di kening. Aku menahan diri untuk membuka mata. Sentuhan beralih ke pipi, lalu ke bibir. Sedikit menggeliatkan tubuh, netraku terbuka. Sejenak Fian menghentikan gerakan, menatapku, lalu tersenyum lembut. Wajahnya berada tepat di depan wajahku. Kami terdiam. Hanya desah dan embusan napas memburu memecah kesunyian. Fian kembali melanjutkan sentuhan di permukaan wajahku. Degup jantungnya menyatu dengan debar di dadaku. Gemuruhnya bagai deburan ombak di tepi pantai. Deru napas susul menyusul bagaikan gelombang yang bergulung dahsyat, lalu pecah di batu karang. Lelangit kamar menjadi saksi bisu apa yang terjadi di antara cinta dua insan berlainan jenis.
Nista itu sudah tercoret di dinding kelabu. Noda itu terpercik menjadi penanda awal prahara dalam hidupku. Tak pernah sedikit pun terpikir olehku akibat dari kebahagiaan sesaat ini.
Kejadian itu tak hanya sekali dua kali. Setelah itu, kami mengulangnya jika aku mendatangi tempat Fian.