Setelah ujian kelulusan, aku mendaftar kuliah dan diterima di Unpad. Namun bukan di fakultas kedokteran sesuai impian kedua orang tuaku, karena nilai ujianku tak seperti yang diharapkan. Aku diterima di fakultas pertanian. Ada sedikit penyesalan dalam hati, namun aku juga tak mau menyalahkan diri. Andai waktu les bimbingan belajar dipergunakan secara semestinya, mungkin saja aku bisa masuk kedokteran. Otakku lumayan cerdas, terbukti selalu menyandang peringkat satu dari SD hingga SMA.
Aku mendaftar ulang masuk universitas negeri terbaik di kotaku diantar Ayah. Saat itu matahari mulai meninggi, sinarnya menyorot dengan galak. Setelah lama mengantre, akhirnya aku berhasil menyelesaikan registrasi dan bersiap segera pulang. Di tengah sengatan sang surya yang menembus hingga ke tulang punggung, mendadak kepalaku pusing, pandanganku meremang. Tak kuasa lagi rasanya menahan sesuatu yang meronta-ronta dari dalam perut. Rasa mual menggangguku, juga rasa pahit di mulut dan kerongkongan. Kuhampiri Ayah yang menunggu di tempat parkir.
Melihatku berjalan sempoyongan dengan muka pucat, Ayah terkejut. Ia melompat ke arahku dengan cemas, lalu segera membawaku ke klinik dekat kampus.
Dokter memeriksa tubuhku, lalu menyuruh memberikan sample darah dan air seni, untuk test di laboratorium. Tak lama kemudian, dokter memanggil Ayah dan berbicara di dalam. Sementara aku masih menunggu di luar. Entah apa yang mereka bicarakan tentang penyakitku. Semoga saja tak ada yang serius.
Akhirnya Ayah keluar juga dari ruang praktik dokter. Namun aku tak mengerti dengan perubahan di wajahnya. Muka Ayah telihat tegang, pucat dan lemas. Ia hanya menggelengkan kepala ketika kutanya hasil pemeriksaannya. Di mobil pun tak sepatah kata terucap, sehingga hilang keberanianku untuk bertanya lagi. Kalau sudah seperti itu, lebih baik aku diam. Sikap Ayah yang terkadang keras membuat nyaliku ciut, tak berani membantah.
Sesampai di rumah, meledaklah amarah Ayah. Dia membanting amplop hasil pemeriksaan dokter tadi. Ibu tergopoh-gopoh menghampiri Ayah.
"Lihat! Ini kelakuan anakmu!" bentak Ayah menunjuk amplop itu setelah melemparnya ke atas meja.
Ibu yang terheran-heran, meraih amplop itu, lalu membacanya. Tak disangka, setelah itu Ibu pingsan. Aku yang belum paham apa yang terjadi, penasaran dengan isi amplop itu. Bumi seakan berputar saat kubaca surat hasil pemeriksaan laboratorium itu. Di sana disebutkan bahwa aku positif hamil.
"Kenapa nggak mau dengar omongan orang tua, Nak?" ujar Ibu lirih di sela isakan. Akhirnya Ibu melemah setelah siuman dan menangis tiada henti. “Yang selama ini kami takutkan terjadi juga.”