Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #7

7. Lewat Sepenggal Kisah

Jakarta, 2009–2018

Ketika bahagia datang menghampiri, aku justru bersiap untuk menangis. Karena rasa itu hanya menyapa tanpa mau singgah berlama-lama bersamaku. Setelah rasa itu pergi, rasa dukalah yang betah dan menetap di ruang hati. Mau tak mau aku harus berteman dengannya yang makin hari makin terasa akrab.

Menjalani hidup terpisah dari ayah-ibuku memang berat bagiku. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku terbiasa dimanja. Segala sesuatu yang diinginkan selalu tersedia. Kasih sayang dan perhatian semua tercurah hanya untukku. Bak putri raja, aku selalu disanjung dengan pujian. Jangankan untuk melakukan pekerjaan rumahtangga, bahkan untuk sekadar bantu-bantu Ibu di dapur, belum sempat kupikirkan sebelumnya. Karena semuanya akan mudah, hanya tinggal menyuruh pembantu rumah tangga. Sekarang dunia seperti terbalik. Segala sesuatu harus kutangani sendiri. Belum lagi urusan Daffa yang setiap saat butuh perhatian khusus. Namun begitu, semua kujalani dengan ikhlas, tanpa tekanan dan paksaan. Tak menjadi masalah walaupun dengan hasil yang alakadarnya.

Fian juga terlihat fokus dengan pekerjaannya. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang diperolehnya dengan usaha keras. Dua tahun bekerja, pria ulet dan gigih itu sudah diangkat menjadi Marketing Supervisor. Sejak itu, kondisi keuangan mulai stabil. Kami bisa mencicil rumah dan kendaraan. Meskipun tak mewah, tapi cukup untuk keluarga kecil. Yang terpenting, kondisi fisik Daffa bisa tetap terjaga. Karena untuk sembuh adalah hal yang tidak mungkin.

Di tengah kesibukannya, Fian masih menyempatkan diri untuk membantuku jika Daffa saatnya butuh tambahan darah. Saat itu, rasa bahagia seakan tak akan pernah berakhir. 

Sebetulnya ada keinginan untuk melanjutkan pendidikanku yang tertunda. Keinginan itu sudah ada sejak Daffa terlahir namun kusimpan dalam hati. Setelah pindah ke Jakarta, baru aku berani mengungkapkan keinginan itu kepada suamiku. Namun apa respon yang kudapatkan darinya, jauh dari perkiraanku. Kupikir ia akan setuju istrinya mengenyam pendidikan yang setara dengannya. Kupikir ia akan berpendapat yang sama denganku bahwa dalam hal mendidik anak, seorang ibu perlu memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Hal itu untuk menunjang proses tumbuh kembang si anak itu sendiri. Namun semua bertolak belakang. Apa yang kuutarakan ditolaknya mentah-mentah. Ia beranggapan bahwa aku lebih baik diam di rumah fokus mengurus anak, apalagi dengan anak yang penyakitan. Pendidikanku tak dibutuhkan lagi. Selain itu, aku tak boleh keluar rumah, hanya boleh mengurus anak-anak saja. Tak lebih. Ah, andai niat itu kuutarakan pada orang tuaku, mungkin lain lagi tanggapannya. Aku sangat yakin orang tuaku akan menyambut baik karena memang cita-cita mereka mempunyai anak sukses dalam pendidikan. Setidaknya mereka akan bangga anaknya menjadi sarjana.

Namun impianku tak berlangsung lama, karena ketika dua garis merah membayang di testpack, semua mulai berubah. Aku dinyatakan positif hamil anak kedua, tepat di usia Daffa yang kedua tahun. Ketika kabar yang seharusnya bahagia itu kusampaikan, hanya kecewa yang didapat. Berita penting untuk menorehkan sejarah hidup itu tak berarti sama sekali buat Fian. Ia seperti tak menginginkan, yang ada malah menyalahkanku dengan kata-kata yang tak masuk akal.

"Kenapa harus sekarang? Nggak lihat apa, kita sudah kerepotan dengan Daffa?" protesnya dengan mata nanar. Hidungnya mendengkus menahan amarah.

"Tapi ini rejeki dari Allah, nggak bisa kita tolak. Siapa tahu kehadirannya bisa mengubah kehidupan, Mas," bantahku mencoba meyakinkan.

Lihat selengkapnya