Kian hari, Fian semakin tak peduli. Ia sudah tak betah di rumah, lebih banyak menghabiskan waktunya di luar. Ia mulai sering pulang larut malam. Kalaupun pulang, bau minuman beralkohol menyeruak dari mulutnya. Kalau kutegur, pasti mengungkit-ungkit lagi kesalahan yang memojokkanku.
Bukan itu saja, nafkah pun mulai berkurang, baik lahir maupun batin. Ia mulai membatasi uang belanja dan biaya berobat Daffa. Lelaki yang dulu kukenal romantis itu pun sudah jarang menyentuhku. Bahkan akhir-akhir ini, pertengkaran demi pertengkaran mesti saja terjadi. Rusaknya jalinan komunikasi di antara kami, sering menyebabkan kesalahpahaman. Tak jarang Fian berlaku kasar meski tak sampai mendaratkan pukulan. Entahlah, aku bingung dengan semua ini. Tak tahu harus berbuat apa. Karena apapun yang kulakukan, selalu salah di matanya.
***
Saat usia Dinda menginjak tiga tahun, ia mulai kuikutkan sekolah khusus anak authis, sekaligus terapi. Namun biaya yang tak murah, membuatku kelabakan dengan hanya mengandalkan uang pemberian Fian. Untuk itu, kuputuskan untuk bekerja dan mencari pengasuh untuk menjaga kedua anakku.
"Baguslah! Daripada kamu kuliah lagi hanya buang-buang duit, mendingan cari duit. Setidaknya kamu bisa merasakan seberapa susah mencarinya. Bukan cuma membuangnya dengan mudah!" jawab Fian ketika kuutarakan niat itu. Respon yang sangat menyebalkan! Percuma jika kulanjutkan apalagi dengan merengek-rengek.
Setelah mendapat pengasuh, aku mulai melamar beberapa lowongan kerja dari iklan surat kabar. Tak mudah bagiku yang hanya lulusan SMA untuk mendapatkannya. Namun akhirnya, aku diterima sebagai tenaga administrasi di salah satu perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut. Karena tak punya pengalaman bekerja sebelumnya, tak masalah aku hanya mendapatkan posisi itu.
Gaji standar upah minimum yang kudapat cukup membantu biaya pengobatan Daffa dan Dinda. Sisanya untuk membayar gaji pengasuh. Kendalanya, pengasuh tak bisa bertahan lama. Mereka rata-rata tak tahan menghadapi Dinda. Kalau sudah mengamuk atau bertingkah di luar batas, mereka kewalahan, dan akhirnya mengundurkan diri. Tak sekali dua kali mereka kena pukulan dan lemparan benda. Bahkan harus rela bersusah payah mengejar, ketika Dinda mencoba kabur dari rumah.
Untung aku teringat Bu Mien. Ia adalah pengasuhku sedari kecil. Syukurnya, perempuan bertubuh kekar itu mau ketika kuhubungi. Kebetulan ia hidup sendiri di kampungnya karena sudah lama ditinggal suaminya menikah lagi, disebabkan tak kunjung punya keturunan. Kurasa kami cocok satu sama lain. Ia sabar dan tampak menyayangi anak-anakku.