Jakarta, Januari 2018.
[Kalau mau pergi, pergi saja! Aku nggak peduli! Tapi jangan coba-coba berpikir untuk kembali, karena aku tak akan menerimamu lagi!]
Segera kuhapus pesan singkat Fian di layar ponselku. Masabodoh! Aku juga tak sudi kembali ke rumah itu, meskipun masih berhak sepenuhnya. Apalagi setelah bekerja, aku kadang ikut membantu membayar angsurannya. Akan tetapi, daripada tinggal seperti di neraka? Lebih baik aku pergi dan melupakan semua kisah yang tertulis di dinding kenangan rumah itu. Lebih baik kehilangan tempat tinggal daripada kehilangan hati dan jiwa. Aku sudah pasrah, aku menyerah.
Rumah kontrakan yang baru kutempati ini berukuran kecil. Hanya memiliki dua kamar, ruang tamu, kamar mandi dan dapur. Sehingga aku terpaksa harus membayar tukang untuk menyekat ruang tamu, yang dijadikan kamar tidur Bu Mien. Untungnya, perempuan berhati mulia itu mau mengerti keadaanku.
Bukan karena banyak uang aku pindah rumah atau bayar tukang, serta membeli perabotan baru. Itu semua karena dapat pinjaman dari kantorku. Justru aku bingung dengan kehidupan yang sedang dihadapi. Dengan penghasilan pas-pasan, harus menanggung biaya hidup sendiri. Sedangkan kedua anakku membutuhkan biaya ekstra untuk terapi dan sekolahnya. Kalau mereka tumbuh sebagai anak normal, mungkin tak akan seberat ini. Tetapi, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku yakin, Tuhan pasti tak akan membiarkan aku kesusahan sendiri.
Untuk melunasi utang dan biaya hidup yang kian menghimpit, Kinan menawarkan bisnis online yang selama ini ia lakukan juga. Hanya bermodal gawai, dan tak perlu kemana-mana, bisa dilakukan di tengah kesibukan pekerjaan utama. Tak ada salahnya kucoba, dimulai dengan menjualkan dagangan orang lain. Hasilnya lumayan walaupun tak banyak. Akan tetapi, masih saja belum mencukupi. Aku hampir kehabisan akal. Setelah itu, aku mencoba bergabung di beberapa bisnis Multilevel Marketing. Ternyata hanya buang-buang waktu saja. Kupikir di bisnis itu hanya menjual mimpi, karena selama itu tak pernah kutemui hasil yang nyata. Seperti mengejar bayangan sendiri.
Aku pun mulai putus asa. Entah usaha apa lagi yang akan kulakukan setelah ini. Rasanya benar-benar hampir gila. Setiap malam menjelang tidur, aku dilanda gelisah. Tak mudah terpejam saat manusia lain membutuhkan lelap.
***
Sepulang bekerja, tiba di rumah kekalutan kian memuncak. Kepalaku rasanya seperti mau meledak. Bagaimana tidak, laporan Bu Mien hari ini membuatku tak bisa berkata-kata. Dinda bikin keributan lagi. Kali ini di ulang tahun Chika, anak tetangga yang menginjak usia lima tahun. Kebetulan Dinda diundang, dan datang didampingi Bu Mien. Mungkin mereka mengira Dinda sama seperti anak normal lainnya, karena belum mengenal kami, tetangga baru mereka.
"Neng, maafkan saya nggak bisa jaga Neng Dinda. Tadi Neng Dinda diusir yang punya acara. Si Neng merusak kue ulang tahun Neng Chika, sampai anaknya nangis." Dengan agak ketakutan Bu Mien menuturkan ceritanya.
"Terus, mamanya Chika gimana? Marahin Dinda atau Ibu?" tanyaku penasaran. Dadaku kian bergemuruh menahan gejolak emosi.