Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #10

10. Terjerat Pesona Boss Tampan

"Selamat siang."

Sebuah sapaan dengan suara berat mengagetkanku. Terang saja, aku tengah asyik mencumbu gawai, melayani salah satu pelanggan baju-baju yang dipajang di akun media sosialku. 

Saat kuangkat muka dari layar ponsel, seraut wajah lumayan tampan memamerkan senyumnya. Di depanku, berdiri sosok tubuh tegap berkulit putih dengan mata agak sipit, berusia sekitar empat puluh tahunan. Pada saat bangkit untuk menyambut dan melayaninya, tak sengaja kakiku tersangkut kabel pengisi baterai ponsel yang sedang terpasang. Aku tersandung dan hampir saja jatuh. Namun tangan pria itu dengan sigap memegang tanganku. 

"Ups ... hati-hati! Nggak kenapa-kenapa, 'kan?" tanyanya penuh kekhawatiran.

"Nggak, Pak. Maaf !" jawabku tersipu. Ah, Vanna! Bikin malu saja.

"It's ok!" Lelaki perlente itu kembali tersenyum. "Oh iya, saya mau ketemu Pak Ben. Beliau ada di dalam?" lanjutnya sambil mengarahkan jempol ke ruangan bosku.

Jariku sigap menekan angka-angka di pesawat telepon yang menghubungkan ke ruangan bosku, untuk memastikan keberadaannya.

"Bapak, mohon menunggu sebentar, Pak Ben sedang ada tamu," jelasku. Ia mengangguk, masih dengan senyumnya.

"Boleh duduk di sini, sambil menunggu?" pintanya sambil menarik kursi depan mejaku tanpa menunggu dipersilakan.

Sebetulnya aku gugup harus berhadapan dengannya. Gimana tidak, ia menatapku terus dengan tak melepas senyum manisnya, hingga mata sipitnya hampir tak pernah menampakkan bola matanya. Aku pura-pura tak memperhatikan. Wajahku tertunduk kembali ke layar ponsel.

"Sudah lama kerja di sini?" Ia mulai memecah kebisuan. Aku menggeleng.

"Pantesan baru lihat. Sebenarnya saya juga sudah lama nggak ke sini," lanjutnya seraya memainkan bulpoin di tangannya.

"Baru tujuh bulanan. Emh, maksudku, sudah lama bekerja di sini, tapi di bagian ini belum lama, Pak," ralatku, kemudian menjelaskan masa kerjaku di perusahaan ini. Berarti dulu ia sering berkunjung, mungkin klien lama perusahaan ini. Kalau bukan dari terminal peti kemas, bea cukai, pasti eksportir. Ah bisa saja petugas pajak atau seorang audit keuangan.

Sebelum lelaki berwajah oriental itu masuk ruangan bos, kami sempat berbincang-bincang. Kemudian ia meminta saling tukar nomor ponsel. Aku tak keberatan karena ia sopan dan ramah. Tak ada salahnya sekadar menambah teman atau lebih tepatnya kolega. Ketika hendak menyimpan nomor ponsel lelaki itu, baru teringat bahwa aku belum menanyakan namanya. Lalu dengan nama apa nomor itu akan kusimpan? Kenapa aku hanya menyebutkan namaku saja saat ia menanyakannya? Alangkah bodohnya, Vanna! 

"Van! Lo ngomongin apa sama Pak Yunan? Asyik banget sampai nggak inget teman!" tanya Kinanti seolah penasaran menghampiriku.

"Yunan? Maksud lo, bos Mahligai Jaya?" Aku balik bertanya dengan sedikit bingung.

Lihat selengkapnya