Jakarta, Februari 2018.
"Bunda ...."
"Hmm ...."
"Apa aku sudah termasuk lelaki akil balig?"
Tumpukan buku yang sedang kubereskan di kamar Daffa, hampir terhambur. Pertanyaan tak disangka sebelumnya itu membuatku tersentak. Bagaimana tidak? Tak mengira saja akan datang secepat ini, dari bibir mungil anak lelaki sulungku. Sejatinya, aku belum siap memberi jawaban.
"Maksud Daffa?" Aku pura-pura tak mengerti. Kususun dan kurapikan lagi buku-buku ke dalam rak.
"Tadi, Pak Hadi, guru pelajaran agama membahas tanda-tandanya, Bun." Ia menjelaskan pertanyaan tadi namun matanya tak lepas dari game android dalam genggaman. "Beliau bilang, sebentar lagi usia kami akan memasuki masa akil balig. Itu pun kalau sudah bermimpi. Kan, Daffa sering mimpi, bahkan dari kecil. Tapi, kok Daffa belum berjakun seperti tanda-tanda yang dikatakan Pak Hadi."
Kuhampiri Daffa yang tampak kebingungan, lalu duduk di sampingnya. Kuusap pucuk kepalanya yang berambut tipis itu.
"Daffa, yang dimaksud Pak Hadi bukan mimpi biasa, tapi mimpinya orang dewasa, sampai keluar cairan yang disebut mani. Rata-rata di usia tiga belas. Kalau belum bermimpi, nanti saat usiamu lima belas tahun, baru bisa dikatakan balig. Nah, sejak itu, apa yang Daffa perbuat baik atau buruk, akan dicatat oleh malaikat. Karena akan dipertanggungjawabkan kelak." Kemudian aku mencoba menjelaskan, semampu yang kutahu sampai ia paham.
Seharusnya diusia menjelang pubertas itu, Daffa sudah tumbuh tinggi dan besar. Namun tidak baginya. Tumbuh kembangnya terlambat karena terhambat penyakitnya. Jangankan ada perubahan fisik dan suara yang menjadi pertanda pada anak laki-laki normal. Sebaliknya, perubahan terjadi pada tulang dahinya yang menonjol, semakin kentara karena tubuhnya bertambah kurus.
Jauh di kedalaman hati yang miris, aku teriris. Pada saat seorang anak butuh figur ayah, Daffa malah kehilangan sosok yang seharusnya mendampingi untuk mengantarkannya ke gerbang keremajaan. Harusnya ada tuturan kata-kata dari lelaki bijaksana yang menjelaskan semua momen penting dalam fase kehidupannya. Ya, ini semua salahku, dosa masa laluku. Tetapi, kenapa aku selalu menyalahkan diri sendiri dengan kenyataan yang dihadapi? Sampai kapan merasakan siksaan seperti ini, Ya Tuhan?
***
[Pagi-pagi sekali aku datang ke kantormu. Sengaja biar tak ada yang lihat aku menaruh sesuatu di bawah mejamu. Pukul tujuh nanti, kujemput untuk makan malam.]
Sepagi ini sudah dapat pesan dari Yunan. Ah, lelaki itu. Kenapa terus mendekatiku? Ingin rasanya kutolak, namun batinku meronta seolah aku harus terima ajakannya. Ada permainan tarik ulur juga peperangan di dalam batin. Kenyataannya, realitalah yang jadi pemenangnya. Logikaku kalah oleh perasaan.