Sejak itu, Yunan sering menemuiku. Kami semakin dekat, bahkan mulai saling mencari. Saat ia tak hadir walau hanya sehari, ada rasa yang hilang dalam hati. Begitu pun dengan Yunan.
Kadang aku berpikir apa yang kami lakukan, pasti akan mengganggu keharmonisan hubungan dengan istrinya. Setidaknya, ia sudah menyita waktu kebersamaan dengan keluarganya. Teringat ketika Fian melakukan hal seperti ini, aku sempat kehilangan waktu bersamanya dan terampas perhatiannya. Apakah ini bentuk balas dendam, atau karma? Entahlah! Aku hanya mengikuti alur hidup yang terbentang di hadapanku. Aku hanya mengikuti langkah kakiku sesuai kata hati dan perasaan. Bukan dengan banyak pemikiran yang membuat lelah. Sudah tak kupedulikan kanan kiriku menyapa dengan teguran. Yang kutuju adalah yang ada di depanku saat ini. Bukan nanti. Jangankan tahu apa yang bakal terjadi di kemudian hari, esok pun aku tak tahu. Aku hanya menjalani.
Pulang dari kantor, Yunan menjemputku. Kebetulan aku tak bermotor saat berangkat kerja. Di perjalanan, ia membelokkan kendaraannya ke sebuah apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan. Beribu pikiran dan kekhawatiran, datang memenuhi kepalaku. Jantung pun berdegup kencang tak karuan.
"Ngapain berhenti di sini?" tanyaku heran bercampur waswas.
"Kita mampir sebentar ke apartemenku. Ada barang yang mau kuambil." Ia memarkirkan mobilnya di lantai bawah tanah gedung bertingkat itu. Aku menurut saja saat ia membuka pintu mobil lalu menuntunku menaiki lift.
Yunan membuka pintu ruangan mewah namun sepi itu, setelah memasukkan kartu sebagai kunci masuk. Lampu mulai menerangi setiap sudut ruangan yang tampak nyaman dengan tata ruang minimalis yang apik.
"Siapa yang menempati?" tanyaku, berjalan mengitari ruangan.
"Sesekali saja, kalau aku sibuk tak sempat pulang ke rumah, ya ke sini," jawabnya sambil membuka pintu kamar.
Kuperhatikan bingkai foto besar yang menempel di dinding bercat putih. Gambar Yunan terpampang bersama istri dan dua anak laki-laki seusia Daffa dan Dinda. Paras cantik dan glamour terpancar dari wajah istrinya. Namun sorot matanya menyiratkan sikap yang angkuh. Usianya mungkin lima tahun di atasku.
"Vann!" Aku terkejut mendengar Yunan memanggilku dari kamar. Aku segera menyahut. Tanpa beranjak dari depan foto keluarga itu.