Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #14

14. Menuai Badai

Keesokan paginya, aku bangun meski tak sempat tertidur. Akan tetapi, badanku terasa berat tak bisa kugerakkan. Sakit sekali sampai ke tulang-tulang. Tubuhku gemetar, gigi gemeletuk menahan gigil. Namun suhu tubuhku memanas. Sepertinya aku demam.

Tak mungkin aku berangkat kerja dengan kondisi seperti ini. Kutelepon Kinanti untuk mengabarkan kejadian tadi malam sekalian minta tolong izin absen kerja.

"Ah Vann, sudah gue bilang berkali-kali biar lo ngerti. Lo nggak mau denger!" Kinan menyesalkan perbuatanku. Beberapa kali kudengar helaan napasnya.

"Ya udah, lo istirahat aja, nggak usah masuk kerja dulu. Ntar gue bilang Pak Ben!" ujarnya sebelum menutup telepon.

Kinanti yang penasaran, di siang hari akhirnya datang melihat kondisiku. Rasa simpatinya terhadap teman, kentara sekali dari perhatiannya. Ini sangat membantu menenangkanku. Hanya ia yang kupercaya saat ini selain Bu Mien. Dalam suasana dan masalah apa pun, ia tempatku menumpahkan segala yang terjadi. Termasuk perselingkuhanku dengan Yunan. Datang hanya memastikan keadaanku dan membawakan makanan, tak lama Kinan pamit kembali ke kantor.

Seharian ini aku hanya bermain dengan Dinda di kamar. Ia jadi tak bisa pergi sekolah gara-gara kejadian yang menimpaku ini. Sebetulnya bukan bermain bareng karena Dinda terlihat hanya bermain sendiri. Begitulah kesehariannya, tak jauh beda dengan gejala anak authis lainnya. Sedangkan Daffa diantar Bu Mien dan menungguinya hingga selesai kegiatan belajar, karena jarak sekolahnya tak begitu jauh dari rumah.

Aku hanya berpikiran, andai mereka tak bersamaku, bisakah mereka bertahan hidup? Siapa yang akan peduli keadaan mereka? Ayahnya? Kakek-neneknya? Pikiranku tak pernah sampai ke sana. Lalu sekarang, setelah kejadian ini? Masih bisakah? Yunan yang selama ini menjadi mesin pencetak uangku, tak bisa lagi kutemui. Ia sudah pasti dalam pengawasan istrinya yang berkuasa atas dirinya. Entahlah ... apa yang akan terjadi esok, terjadilah!

Ponsel berbunyi lagi beberapa kali. Bukan hanya tanda pesan yang masuk, tetapi panggilan telepon juga. Kuraih gawai itu dan melihat nama pemanggilnya. Kinanti. Dia lagi. Ah nanti juga kalau penting sekali, ia pasti akan memanggil kembali. Paling tanya kerjaan atau menyampaikan kabar dari Pak Ben.

Benar saja. Layar sebesar lima inci itu kembali bersinar. Kusentuh warna hijau bergambar gagang teleponnya. 

"Vann! Lama banget sih ngangkatnya? Lo udah tau belum?" Dengan suara seperti dikejar hantu, Kinan berbicara. 

"Tau apa? Yang bener kalau ngomong, Kin!" Sambil meringis, aku masih sempat menggodanya. Tapi kali ini Kinan tak meladeni candaanku. Dari nada bicaranya, ia terlihat serius.

Lihat selengkapnya