Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #15

15. Anakku Menanggung Dosaku

Jakarta, Juni 2018

Sejak kejadian viral memalukan di media sosial itu, aku tak berani keluar rumah. Jangankan berangkat kerja atau antar anak-anak sekolah, keluar kamar pun enggan. Bahkan, memegang ponsel saja tak berani. Setiap kali mendengar bunyi panggilan atau pesan, tubuhku langsung gemetar, keluar keringat dingin, kadang disertai gigil. Trauma? Entahlah!

Rasa takut, malu dan cemas sudah mengungkung diri seolah terpenjara. Tak kuasa menerima siksa batin yang mendera, sempat terbersit keinginanku untuk mengakhiri hidup. Mungkin cara itu yang akan mengakhiri semua penderitaanku. Semua beban di pundakku akan terlepas. Aku tak berpikir panjang lagi bagaimana nasibku kelak setelah itu. Aku sudah buntu. Surga dan neraka, saatnya penghisaban nanti pun aku tak peduli. Bisikan setan menyesatkan pikiran sempitku. Namun manakala menatap kedua pasang bola mata yang selama ini kuperjuangkan agar jangan sampai meredup, sedikit membungkam bisikan setan itu di telingaku. Andai kutinggalkan, bagaimana dengan nasib keduanya? Kupasrahkan pada Tuhan? Ah, masihkah aku mengingat-Nya, dan masih berharap menggantungkan hidup? Ah, Vann, ingat! Tuhan sedang melaknat! Mana mungkin Dia mau mendengarmu? Tahu diri, Vanna! Tuhan sedang marah.

Beberapa hari ini, sejak terakhir pulang sekolah, Daffa mengurung diri di kamar. Bu Mien bilang, ia tak keluar kamar, untuk makan saja tak mau. Ia marah padaku karena di sekolah, teman-temannya sudah tahu siapa bundanya. Anak laki-laki yang sebentar lagi menginjak remaja itu malu dengan cemoohan teman-teman, dan semua menjauhinya. Seakan dipandang jijik jika dekat-dekat dengannya. Daffa pasti shock. Dalam tubuhnya yang ringkih, hatinya pun rapuh. Penyakit yang dideritanya telah mempengaruhi perkembangan jiwanya seperti itu. Apalagi kini ditimpa masalah ibunya, sudah dipastikan berapa hancur perasaanya. Sementara Dinda, tak terlalu khawatir terganggu karena ia tak mengerti apa-apa.

***

"Neng, ada surat dari sekolah Dinda, Pak Jono barusan ke sini mengantarkan." Bu Mien menyerahkan selembar amplop putih berlogo sekolah Dinda.

"Buka aja, Bu. Aku malas bacanya," ujarku sambil membalikkan bantal di kepala. Bu Mien membacakan isi surat itu.

"Neng, minggu depan Dinda ikut pentas yang diadakan yayasan anak penyandang authis. Kita disuruh persiapkan kostum, tempatnya di aula sekolah," tutur Bi Mien setelah membacakan.

"Bu, minta tolong diurus ya, saya nggak bisa. Kumohon Ibu mengerti keadaan saya," ujarku memelas, memohon bantuan kepada pengganti ibuku itu.

"Tapi Neng, ini undangannya orangtua wajib datang juga untuk menerima penghargaan khusus buat Dinda." Bu Mien tampak kebingungan.

Jika aku tak menghadiri, lalu siapa yang akan mendampinginya, ini acara penting untuk Dinda. Ia akan menunjukkan kemampuanya sebagai anak dalam keterbatasan, dengan memainkan biola. Tak mudah mengajarkan alat musik itu padanya. Namun Dinda terlihat suka dan yang paling penting, ia berlatih memfokuskan pikiran terhadapnya. Kemudian kusuruh Bu Mien menghubungi Fian, minta menggantikanku hadiri pentas itu. Tak terbayang kalau aku hadir di saat suasana sedang memanas ini. Mata-mata mereka akan menyorot, menghunjam tajam ke arahku. Aku belum siap menghadapi dunia luar yang kejam.

Setelah dihubungi Bu Mien lewat telepon, Fian datang ke rumah. Bukannya menanyakan kabar anak-anak, ia malah langsung melabrakku. Kupikir ada sedikit hati untuk kedua darah dagingnya. Tanpa basa-basi, ia mencercaku dengan makian dan hinaan.

"Dasar pelacur! Perempuan hina! Tak tahu malu mencoreng muka keluarga! Giliran susah, baru minta bantuanku!" Suaranya lantang menyerangku disertai ujung jari yang menunjuk-nunjuk.

Lihat selengkapnya