Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #17

17. Derai Air Mata di Deras Hujan

Surabaya, Juli 2018

Setelah memikirkan dengan matang, kuputuskan untuk pergi meninggalkan kehidupan di Ibukota. Ingin kuhapus jejak kenangan pahit yang dialami selama di sini. Kembali ke orang tua? Tentu saja tidak! Mereka tak akan menerima, mungkin juga tak berharap aku kembali ke pelukan. Mungkin juga mereka sudah melupakan bahkan mencoret namaku dari daftar keluarga. Aku harus tahu diri, tak ingin mengotori nama baik keluarga besar ayah-ibuku. Tetapi, aku harus pergi agar tak menambah derita jika terus berada di sini.

Dengan berat hati, kulepas kepergian Bu Mien yang meninggalkan aku dan Dinda lebih dulu. Sebetulnya aku masih ingin berbagi suka dan duka bersamanya. Ia yang selama ini mengorbankan sisa hidupnya demi untukku dan kedua anakku. Akan tetapi, nasib berkata lain. Derai air mataku mengantar kepergian perempuan yang banyak berjasa padaku itu ke kampung halamannya.

Sisa uang pemberian Yunan, menjadi bekal perjalananku. Sempat juga Bu Mien menjualkan beberapa barang perlengkapan rumah tangga dengan harga murah. Lumayan menambah sedikit bekal perjalanan. Sengaja tak kuberitahu Kinan agar tak membuatnya khawatir. Juga Fian, tak sudi kalau ia tahu. Toh ia juga tak kan peduli aku mau ke mana, atau apa yang kulakukan. Kami sudah sama-sama tak peduli.

Di Stasiun Gambir, tangan Dinda kupegang erat takut terlepas. Untungnya, ia sedikit tenang. Andai aksi ngamuknya tiba-tiba kumat, sudah pasti akan merepotkan. Rasa gelisah terus menyiksaku saat di keramaian. Mata-orang-orang yang sama sekali tak kukenal seolah memandangi. Tatapan menghina, mencemooh dan menghakimi. Padahal hanya perasaanku saja, tetapi rasa itu tak mau pergi. Aku dihantui kecemasan sendiri. Trauma itu benar-benar mengganggu kejiwaanku. 

 Kulangkahkan kaki menaiki kereta jurusan Surabaya. Saat itu, aku tak tahu harus kemana. Tanpa tujuan yang jelas, membingungkan diri sendiri karena hanya mengikuti langkah kaki dalam kekalutan. Gila? Bodoh? Nekat? Batinku membenarkan semuanya.

Hampir seharian, kami menempuh perjalanan di atas rel. Aku bersyukur Dinda tak menunjukkan tindakan anehnya yang akan mengganggu penumpang lain. Selama di kereta, Dinda tertidur pulas. Bangun pun ketika merasa lapar saja. Ia seolah memahami kesulitan bundanya.

***

Stasiun Gubeng, Surabaya.

Lihat selengkapnya