Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #20

20. Karisma Sang Ustaz

Surabaya, November 2018

Berada di tengah lingkungan pesantren dengan kehidupan yang religius, memang kaku buatku. Berbagai aktivitas dari mulai bangun sampai kembali tidur, dilakukan sesuai aturan dengan tertib. Terbangun dini hari untuk bertahajud, dilanjutkan dengan tadarus sampai azan subuh tiba. Semua serentak melakukannya tanpa aba-aba lagi.

Aku yang tak terbiasa, terpaksa harus menyesuaikan. Dengan pengetahuan agama yang minim, kuikuti setiap kegiatan beribadah sambil belajar. Untungnya, para ustazah beserta santrinya mau membimbing dengan sabar dan telaten. Mereka mau memahami diri ini yang jauh dari kesan agamis. 

Selesai salat Subuh berjamaah, aku bersiap ke dapur umum untuk menyediakan sarapan para santri. Kadang pula diminta Ummi Zayn untuk membantu persiapkan sarapan, khusus untuk keluarga besarnya. Tanganku yang selama ini jarang memegang wajan atau panci, awalnya kebingungan. Namun petugas dapur umum bagian memasak, mau mengajari hingga bisa mengolah bahan sendiri di wajan-wajan berukuran besar itu. 

Rasa syukurku bertambah karena banyak sekali ilmu yang kudapat di tempat ini. Ilmu agama dan mengolah makanan. Selain itu, aku mulai sedikit bisa melupakan masalah pahit yang baru saja kualami. Ketentraman membasuh jiwa yang kerontang. Ketenangan merasuk kalbu yang resah. Seberkas cahaya mulai menyinari lorong gelap di hatiku.

Dinda juga sepertinya betah berada di antara keceriaan teman-teman belajar dan bermainnya. Ia terlihat bisa berinteraksi dan berbaur, walaupun masih sering anteng dengan dunianya sendiri. Tetapi ada perkembangan dibanding sebelumnya. Bahagiaku tak terkira kala Dinda sudah berani berbicara kepada teman atau gurunya. Apalagi ketika datang dengan menunjukkan tugas sekolah yang sudah dikerjakannya. Tak percaya rasanya Dinda bisa berkembang pesat seperti itu. Sekali lagi aku merasa beruntung berada di sini. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Hingga di malam hari setelah makan malam, Ummi Zayn menahanku untuk pergi ke kamar. Tak seperti biasanya.

"Dik Vanna, sebentar jangan beranjak dulu. Ada yang mau kubicarakan. Tak ada kegiatan lagi, kan?" pintanya. Telapak tangannya menepuk punggung tanganku dengan lembut.

Aku menggeleng, lalu menjawab, "Nggak ada, Ummi. Aku hanya mau kelonin Dinda, habis itu mau lanjutin baca Al-Quran biar cepat khatam."

"Oh, ya sudah. Tidurkan dulu Dinda, nanti kutunggu di ruang tamu," ujar Ummi sambil bangkit dari duduknya.

Batinku bertanya-tanya. Ah apalagi yang akan diomongkan perempuan berhidung bangir itu? Jangan-jangan kami akan disuruh pulang. Bagaimana kalau benar? Kemana lagi akan kulanjutkan perjalanan? Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di kepala.

Dinda sudah terlelap. Kubetulkan selimut yang tersingkap menutupi tubuh mungilnya. Tak lupa kuhalangi pinggir ranjang dengan guling agar Dinda tak terjatuh. Kalau tidur, ia memang tak pernah diam, selalu bergerak-gerak bahkan mengigau.

Lihat selengkapnya