Anehnya, sejak itu aku jadi tak berani beradu tatap dengan Ustaz. Kalau berpapasan atau berada satu meja saat makan pun, aku terdiam tak berani mengangkat muka, apalagi untuk memandangnya. Dia pun terlihat selalu menjaga pandangannya padaku. Dari awal kami memang tak pernah berbicara atau saling sapa. Paling hanya tersenyum dan anggukkan kepala. Tapi kali ini suasananya lain, berbeda dari sebelumnya. Mungkin karena di hati masing-masing sudah tertanam niat yang disampaikan Ummi Zayn.
Tak bisa dipungkiri, Ustaz Khairul memang punya karisma yang kuat. Pancaran keimanan di jiwanya tersirat dari sorot matanya. Kewibawaannya tercermin dari tutur katanya. Siapa pun wanita itu pasti akan takluk dan rela menjadi istri yang kesekian pun tak masalah.
Aku? Gamang mendera hati dan pikiran. Dua sisi yang saling berbenturan selalu menjadi konflik batin. Selalu.
Setelah sekian lama mengurus perceraian lewat pengacara secara khulu, akhirnya aku dinyatakan berstatus sebagai janda. Tak pernah kubayangkan sebelumnya menyandang status yang ditakuti oleh sebagian wanita. Tapi tidak denganku. Aku justru bahagia walau tak mendapat apa-apa dari harta gono-gini atau apapun. Malah aku harus mengembalikan mahar yang diberikan Fian saat nikah. Terlepas dari Fian adalah kebebasanku. Namun, kebebasan itu tak kan bertahan lama karena status yang sudah diperoleh dengan jalur hukum itu sebentar lagi akan berubah. Setelah melewati masa iddah, aku akan menjadi istri ketiga Ustaz Khairul. Dan Dinda ... akan punya ayah tiri.
Sebetulnya Dinda tak akan menjadi kendala karena mau aku menikah lagi atau tidak, tak akan terpengaruh. Ia masih kecil juga karena masalah kelainan di jiwanya. Hanya saja aku merasa tak enak hati membawa kondisi Dinda ke dalam lingkaran keluarga besar mereka. Meski mereka menerima dan sudah terbiasa menghadapi keadaan Dinda, tetap saja menjadi beban buatku.
Akan tetapi, andai aku menolak pernikahan itu, bagaimana pula nasibku selanjutnya? Aku tak yakin akan bertahan tinggal di sini. Sudah pasti kekecewaan mereka akan membuahkan rasa tak nyaman. Sedangkan untuk pergi meninggalkan pondok ini, aku tak punya tujuan lagi, kemana kubawa alur hidup ini selanjutnya.